Mohon tunggu...
Ratih Purnamasari
Ratih Purnamasari Mohon Tunggu... Konsultan - Tata Kota

Engineer | r.purnamasari16@gmail.com | Ratih antusias pada isu perkotaan, lingkungan, kebencanaan, smart city, blockchain dan big data. Sebagiaan ide dirangkum di mimpikota.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cerita Petani Cabe di Desa Glagah

24 September 2014   14:18 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:43 556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Liputan khusus Rencana Pembangunan Bandara Baru Yogyakarta)

Keberadaan bandara lama (Adisucipto) milik TNI di kota Yogyakarta saat ini diprediksi melebihi kapasitas daya tampung sebagai bandara Internasional. imbul masalah yang cukup serius. Semakin tingginya trafik BU Adisucipto bersamaan dengan padatnya kurikulum penerbangan TNI AU, ditambah angka penerbangan domestik yang juga meningkat setiap tahun, kapasitas bandara yang diprediksi mencapai 2,8 juta/tahun, ternyata melonjak menjadi 5 juta/tahun.

Menyikapi hal tersebut, pemerintah berencana membangun bandara baru dan terbesar untuk memenuhi tantangan lonjakan penumpang di masa akan datang. Kab. Kulon Progo khususnya beberapa desa di kecamatan Temon direncanakan sebagai lokasi baru untuk pembangunan bandara. Bentang alam, dan luas lahan belum terbangun menjadi dasar pertimbangan pemilihan lokasi bandara tersebut.

Pantai Glagah yang berada di kecamatan Temon menjadi salah satu desa yang sebagian wilayahnya akan menjadi bagian dari pembangunan bandara. Secara fisik, potensi alam seperti lahan pertanian yang cukup luas, perkebunan cabai, melon, semangka, jagung dan buah naga menjadi komoditi unggulan di desa Glagah.

Potensi wisata dari perkebunan buah naga ini juga cukup menjanjikan, karena angka wisatawan yang berkunjung ke Pantai jauh lebih tinggi dibandingkan tempat wisata lain di kabupaten Kulon Progo.

Masalah baru muncul ketika pemerintah berencana membangun bandara baru di daerah Temon, termasuk Glagah. Masyarakat melakukan  penolakan terhadap ide perencanaan tersebut karena dianggap merugikan penduduk yang tinggal di sekitar pantai Glagah. Kepentingan pemerintah dan kemaslahatan penduduk kini akhirnya terpecah menjadi dua kubu. Ada kubu yang mendukung dan ada kubu yang menolak.

Menurut warga jika penduduk ingin direlokasi sangat memungkinkan untuk menempati tanah kas desa seluas 69 ha. Luas lahan tersebut cukup untuk mengembangkan kegiatan usaha pertanian. Perwakilan Kepala Desa yang kami temui (Juni, 2014) juga mengomentari masalah beda pendapat warga soal Bandara sebagai hal yang wajar. “Belum ada sosialisasi saja, khususnya dari Angkasa Pura, sehingga pembebasan lahan masih terkendala”. Tuturnya.

Secara ekonomi, pembangunan bandara diharapkan bisa membawa keuntungan bagi kabupaten KulonProgo. Pertama, pembangunan bandara akan diikuti dengan rencana pembangunan sistem transportasi terpadu antar daerah. Kereta api akan melintasi kawasan bandara, sistem transportasi darat juga akan dibuka aksesnya seperti bus, sehingga pergerakan ekonomi diprediksi akan meningkat dari biasanya.

Kedua, infrastruktur. Pembangunan bandara akan meningkatkan kualitas infratsruktur jalan, di sekitar kecamatan Temon yang khususnya akses menuju lokasi pariwisata. Walaupun hingga saat ini angka wisatawan menuju Glagah masih lebih tinggi dibandingkan tempat wisata lain di Kulon Progo.

Ketiga, Multiplier Effect. Keberadaan bandara baru di Kulon Progo akan merangsang pertumbuhan ekonomi sektor UMKM. Jika potensi ini segera dibaca oleh pemerinta Kulon Progo, tentu ada baiknya membina UMKM tersebut dari sekarang di setiap kecamatan. Misalnya, mengembangkan sektor perkebunan yang dianggap menguntungkan untuk di jadikan produk baru yang siap dikonsumsi (makanan).

Potensi pertanian yang cukup besar di desa Glagah adalah pertanian padi sawah, dan perkebunan cabai. Kebun cabai ini berada di lokasi yang akan dibanguni bandara. Lahan yang digunakan berkebun cabe  oleh penduduk setempat termasuk cukup bagus untuk penanaman cabe.

“Kami lebih senang berkebun cabe mbak, kerjanya tidak seberat menanam padi, kami juga bisa dapat untung besar kalau harganya lagi naik”. Ibu Siti menjelaskan pada saya soal harga cabe yang dirasakan akhir-akhir ini terbilang sangat murah. Harga sekilo cabe sebelum lebaran masih berkisar Rp.16.000-20.000,00.

“Kalau harganya naik,  bisa sampai Rp.40.000,00 per Kilogram mbak, ini kok tidak naik-naik ya harga cabenya”. Selain itu harga murah cabe ini semakin dipengaruhi oleh tengkulak. Petani cabe yang tidak ingin mengambil resiko kerugian misalnya menyimpan cabenya hingga harga naik, memilih menjual cabe mereka dengan harga yang sangat murah ke tengkulak.

“Lebih baik segera dijual mbak, daripada disimpan, nunggu harga cabe naik, lagipula cabe kan cepat busuk, paling lama ya dua minggu”. Saya mulai paham, mengapa petani tidak bisa benar-benar lepas dari peran tengkulak. Bagi ibu Siti, tengkulak memang bisa merugikan mereka, namun disisi lain tengkulak ini punya peran besar untuk menadah hasil pertanian mereka, walaupun harus dihargai murah.

Beruntung, di Pantai Glagah ini kekompakan petani masih terjaga dengan terbentuknya kelompok tani. Ada sekitar 20 kelompok tani di desa Glagah, dan kelompok tani ini melalui ketuanya akan mengatur jadwal bertanam secara bersamaan dan jadwal panen juga sudah diatur. Lebih menarik lagi, pinjaman bank satu petani cabe, ditutupi oleh petani lain, yang akan dikembalikan saat untung penjualan cabe sudah diterima. Pihak bank pun sudah mengerti sistem ini, sehingga mereka tidak pernah kesulitan mendapatkan pinjaman dari bank.

Kembali ke soal bandara, sebenarnya masalah pertama yang saya urai pada tulisan khusus saya soal bandara baru di Glagah, Temon adalah pertanian cabe. Sejauh mana usaha pemerintah dan pihak bandara memikirkan masalah mata pencaharian petani cabe di Glagah, Temon.

[caption id="attachment_361207" align="aligncenter" width="600" caption="Lokasi Desa Glagah, Temon dan lokasi rencana pembangunan bandara"]

14115176861496862535
14115176861496862535
[/caption]

[caption id="attachment_361209" align="aligncenter" width="600" caption="Keterangan gambar"]

1411517752869624338
1411517752869624338
[/caption]

Kesimpulan sementara yang saya temukan adalah potensi tanaman cabe menjadi sektor industri pangan, seperti produk olahan pangan dari cabe. Ide ini mungkin bisa menutupi masalah lemahnya daya saing sumber daya manusia saat pembangunan bandara diwujudkan.

Selain itu keluhan lain seperti keterpaksaan menggunakan jasa tengkulak juga perlu dipikirkan solusinya, agar petani cabe Glagah tidak semakin tergusur, cabe tak menguntungkan, lahan pun semakin berkurang, pada akhirnya lahan pertanian dijual. Alih fungsi lahan inilah yang jadi masalah baru seperti yang terjadi di kabupaten Sleman.

Mau tidak mau, pembangunan bandara mutlak dilaksanakan, namun sebelum melakukan rencana tersebut, aktor lain seperti petani ini perlu dipikirkan kelangsungan mata pencahariannya di masa depan. Pun jika sudah menempati lokasi baru, tugas belum selesai, perlu dikaji lebih jauh mengenai batas zona kawasan pemukiman dan bandara agar tidak menganggu aktivitas penduduk asli di desa Glagah.

Tulisan sebelumnya:

Menanti Solusi Dampak Rencana Bandara Baru Temon

Salam

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun