Mohon tunggu...
Ratih Purnamasari
Ratih Purnamasari Mohon Tunggu... Konsultan - Tata Kota

Engineer | r.purnamasari16@gmail.com | Ratih antusias pada isu perkotaan, lingkungan, kebencanaan, smart city, blockchain dan big data. Sebagiaan ide dirangkum di mimpikota.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Antara Idealisme dan Kapitalis dalam Secangkir Kopi Turaya

12 Januari 2020   09:09 Diperbarui: 12 Januari 2020   17:08 892
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kolase tentang kopi Teruya. (Foto: dokumen pribadi)

Kita bisa menghasilkan biji kopi berkualitas ketika proses roasting dan yang mengerjakan roasting berada dalam kondisi mood yang stabil (suasana hati senang).

Ketika meroasting kopi dengan perasaan/suasana hati sedang kacau maka kopi yang dihasilkan pun tidak akan menghasilkan cita rasa yang diharapkan. Jatuhnya malah hanya semacam tepung hitam yang pahit tanpa cita rasa kopi.

Kemasan Kopi Wine, salah satu produk kebanggan brand Kopi Turaya | dokumen pribadi
Kemasan Kopi Wine, salah satu produk kebanggan brand Kopi Turaya | dokumen pribadi
Dari sini saya pelan-pelan memahami bahwa pada dasarnya, kopi yang diolah hingga proses pasca panen masih terjaga kondisinya dengan baik. Namun yang menentukan apakah kopi tersebut layak menjadi kopi terbaik di lidah penikmatnya ada pada proses roasting.

Proses roasting dengan menggunakan mesin khusus dan pengolahan tradisional juga menghasilkan cita rasa yang berbeda. Saya sendiri punya pengalaman ketika menikmati kopi dengan teknik roasting tradisional dan dengan menggunakan peralatan modern.

Ini preferensi pribadi saja, tidak berlaku umum. Saya merasa kopi dengan proses roasting mesin rasanya lebih nikmat ketimbang kopi yang dengan pengolahan tradisional. Padahal ini jenis kopi yang sama di daerah penghasil kopi yang juga sama. Meski kata Bang Aco hal itu tidak berlaku umum. 

Nyatanya ada juga penikmat kopi yang senang dengan pengolahan tradisional yakni disangrai diatas tungku tanah dengan bahan bakar kayu. Katanya aromanya jauh lebih kuat ketimbang kopi olahan pabrikan atau peralatan modern.

Mungkin karena sejak awal saya menikmati kopi yang diproses dengan peralatan modern, dan tidak pernah meminum kopi dengan proses sangrai alami sehingga lidah saya lebih terbiasa dengan kopi-kopi yang sudah diberi sentuhan modernitas dalam pengolahannya (bukan kopi sachet).

Aco juga cukup bijak melihat pengalaman saya.  Dengan preferensi yang berbeda seperti itu bukan berarti ada pengelompokan antara penikmat amatir dan penikmat sejati.

Tidak ada ukuran atau penilaian khusus kepada siapa penyandang kopi sejati dan amatir ini pantas disematkan. Kopi adalah soal selera dan cita rasa, indra perasa setiap orang berbeda-beda sehingga setiap orang punya hak untuk memilih kopi mana yang lebih cocok di indra penciuman dan perasanya.

Malam itu saya disuguhi Kopi dengan teknik pengolahan Honey, lalu kopi sajian Vietnam Drip dan Kopi Wine dengan seduhan biasa | dokumen pribadi
Malam itu saya disuguhi Kopi dengan teknik pengolahan Honey, lalu kopi sajian Vietnam Drip dan Kopi Wine dengan seduhan biasa | dokumen pribadi
Justru menurut Aco, yang paling penting adalah jalan untuk mengenalkan kopi ke semua kalangan sudah terbuka lebar. 

Lalu pertanyaannya apakah pada akhirnya dengan permintaan pasar yang cukup tinggi terhadap kopi lalu tercipta era  "semua orang bisa minum kopi" akan menghilangkan eksotisme dan keunikan kopi yang selama ini menjadi kebanggaan para penikmat kopi sejati?. Bisa ya, tapi bisa tidak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun