Mohon tunggu...
Ratih Noko
Ratih Noko Mohon Tunggu... Administrasi - Less is More

Pecinta buku dan travel

Selanjutnya

Tutup

Money

Menghadapi Isu Sawit Indonesia di Benua Biru

7 Mei 2017   16:30 Diperbarui: 7 Mei 2017   16:38 679
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Berbicara sejarah, keberadaan perkebunan sawit di Indonesia tak lepas dari peran sebuah negara di benua Eropa, bernama Belanda. Saat jaman kolonial tahun 1848, pemerintah Hindia Belanda mendatangkan kelapa sawit dari Bourbon (Mauritius) dan Hortus Botanicus, Amsterdam (Belanda). Beberapa bijinya kemudian ditanam di Kebun Raya Bogor dan sisa benihnya ditanam menghiasi tepi-tepi jalan di Deli, Sumatera Utara. 

Enam puluh tahun kemudian, tepatnya tahun 1911, kelapa sawit dibudidayakan secara komersial oleh seorang Belgia yang bernama Adrien Hallet. Perkebunan kelapa sawit pertama berada di Deli dan Aceh. Saat itu pemerintah Hindia Belanda merupakan pemasok utama minyak sawit dunia. Setelah masa kemerdekaan Indonesia, pemerintah Indonesia mengambil alih perkebunan, dan sejak tahun 1980 lahan kelapa sawit Indonesia berkembang pesat.

Kini - lebih dari 1 abad berlalu, Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia. Menurut data UNComtrade, ekspor minyak sawit/CPO-Crude Palm Oil (HS 1511) tahun 2015 mencapai 26.4 juta ton atau mendominasi pasar dunia sebesar 56.9 persen. Ekspor tertinggi ke India mencapai 5.7 juta ton (21.7%), China sebesar 3.6 juta ton (13.7%), dan Pakistan mencapai 2.3 juta ton (8.8%). Sementara, sahabat kolonialnya, Belanda, menjadi negara pengimpor dan pengekspor CPO terbesar di Eropa. Tahun 2015, negeri kincir angin ini  mengimpor 2.5 juta ton atau 6.4% dari total impor dunia dan sekitar 0.9 juta ton dipasok dari Indonesia.

Sawit Indonesia Terancam Resolusi di Parlemen UE

Awal April 2017 lalu, berita mengejutkan datang dari Parlemen UE, terkait resolusi yang merekomendasikan penyetopan impor kelapa sawit ke Eropa secara bertahap. Dalam Report on Palm Oil and Deforestation of Rainforest terangkum bahwa minyak kelapa sawit (crude palm oil) termasuk dari Indonesia dianggap merusak lingkungan. Minyak sawit dianggap pendorong deforestasi terutama di Malaysia, Indonesia, Papua Nugini, Liberia, Kamerun, Republik Kongo, Kolombia, dan Peru. 

Penghasil minyak sawit utama, Indonesia dan Malaysia dengan perkiraan 85-90% produksi global, peningkatan permintaan terhadap komoditas ini akan memberi tekanan dan dampak terhadap masyarakat lokal, kesehatan, dan perubahan iklim. Laporan tersebut menyebutkan bahwa kebakaran hutan di Indonesia disebabkan dari pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit, 52% kebakaran di lahan gambut yang kaya karbon, - dan Indonesia salah satu kontributor terbesar pemanasan global di bumi. 

Selain itu, Indonesia disebut penghasil CO2 tertinggi ketiga di dunia, penurunan keanekaragaman hayati, dengan beberapa spesies satwa langka di ambang kepunahan. Tentu saja resolusi ini menimbulkan keprihatinan dan kekhawatiran atas keberlangsungan ekspor sawit Indonesia di pasar global. Dalam satu poinnya, resolusi ini kemudian merekomendasikan penggantian minyak sawit oleh minyak-minyak eropa yang dihasilkan dari biji sunflower, soybeans, atau bunga rapeseed yang dibudidayakan dalam negeri.

Kekuatan dan Peluang

Menghadapi kebijakan resolusi Eropa, Indonesia tidak bisa berpangku tangan, forum negosiasi dan ruang komunikasi harus dimanfaatkan. Indonesia memiliki sejumlah kekuatan dan peluang yang bisa diandalkan. Pertama, kebutuhan Eropa terhadap minyak sawit/CPO masih tinggi sehingga dalam jangka waktu yang cepat tidak akan mudah digantikan. Eropa mengimpor minyak sawit (HS 1511) di tahun 2015 cukup besar yakni mencapai 9.2 juta ton (atau 24% dari total impor dunia) dan sebanyak 4.2 juta ton dipasok dari Indonesia. 

Selain Belanda, negara eropa pengimpor terbesar lainnya adalah Italia (1.6 juta ton/4.2%), Jerman (1.3 juta ton/3.4%), dan Spanyol (1.2 juta ton/3.3%). Artinya ketergantungan uni Eropa terhadap impor minyak sawit saat ini masih kuat. Selain itu, menurut laporan The Economic Impact of Palm Oil Imports in the EU (2014), dampak dari impor minyak sawit ke Eropa berkontribusi besar kepada ekonomi uni eropa.

 Minyak sawit adalah bagian dari rantai pasok yang kompleks karena digunakan dalam produksi berbagai produk, mulai dari biskuit, eye shadow, hingga biodiesel.  Minyak sawit berkontribusi besar terhadap PDB Uni Eropa sebesar €5.8 miliar. Selain itu, minyak sawit menyerap 117 ribu pekerjaan di sektor hilir dan penerimaan pajak sebesar €2.6 miliar. Oleh karena itu, jika pemboikotan sawit terjadi diperkirakan akan cukup berdampak terhadap ekonomi di uni eropa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun