Mohon tunggu...
ratanca
ratanca Mohon Tunggu... opini | narablog | mahasiswa

dikelola oleh ra tanca

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bila Mereka Semua Gen-Z

17 Maret 2025   07:54 Diperbarui: 17 Maret 2025   16:07 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar istimewa

Saya membayangkan lima sosok ini, Sjahrir, Mohammad Natsir, Hatta, Agus Salim, dan Tan Malaka lahir di zaman ini, di tahun kira-kira 2000-an lah, menjalani kehidupan sebagai mahasiswa di Gorontalo, di sebuah universitas yang biru muda warnanya, lebih menyerupai pabrik ketimbang tempat belajar.

Bayangkan, Sjahrir, si pemikir bebas yang sejak muda sudah muak dengan ketertundukan, kini duduk di ruang kelas, menunggu dosennya yang datang hanya untuk membaca slide PowerPoint tanpa diskusi. Mohammad Natsir, yang dulu bersuara lantang tentang integrasi Islam dan kebangsaan, kini sibuk mengisi presensi online dan menghafal teori tanpa pernah diajak berpikir kritis. Hatta, sang pendobrak struktur ekonomi kolonial, kini hanya dipersiapkan untuk menjadi pekerja yang tunduk pada pasar tenaga kerja. Agus Salim, yang suka mengguncang Belanda dengan lidah tajamnya, kini hanya bisa mengeluh dalam bisik-bisik, takut dianggap pembangkang. Dan Tan Malaka? Ah, Tan Malaka sudah lama dikeluarkan karena terlalu banyak bertanya.

Kami membayangkan mereka duduk di kantin kampus, berbincang dalam dialek zaman now, sambil menatap kampus yang lebih menyerupai pabrik. Gedung-gedung megah berdiri, tapi ruang-ruang diskusi kosong. Mahasiswa datang bukan untuk mencari ilmu, tapi dipaksa mengejar gelar. Dosen-dosen bicara tentang kebebasan akademik, di balik itu ada sensor ketat: jangan terlalu banyak bertanya, jangan terlalu kritis, jangan menyinggung kebijakan kampus.

Dalam ruang rektorat, seorang pejabat akademik duduk di balik meja besar, matanya tak lagi mencerminkan semangat mencerdaskan bangsa. Di luar, para mahasiswa berbondong-bondong menuju perusahaan besar, bukan dengan kebanggaan sebagai intelektual muda, tetapi sebagai buruh yang siap menerima upah pertama.

Mungkin Sjahrir akan menulis di media sosial, mengkritik sistem ini dengan sarkasme tajam. Mungkin juga Natsir akan membentuk kelompok diskusi kecil, berusaha menghidupkan kembali semangat berpikir yang nyaris mati. Dan Hatta  akan mengorganisir gerakan mahasiswa yang mencoba menuntut reformasi kurikulum. Agus Salim? Ia akan menulis di blog dengan bahasa yang begitu halus, sehingga kritiknya menembus hingga ke jantung sistem. Tapi Tan Malaka - ah, Tan Malaka mungkin sudah ditangkap, dianggap radikal karena berbicara terlalu lantang tentang pendidikan yang semakin menjadi mesin pencetak pekerja, bukan pemikir.

Saya membayangkan mereka melihat ke arah universitas berwana biru muda di Gorontalo. Gorontalo yang dikenal dengan Serambi Madinah, tempat di mana adat bersendikan syara', syara' bersendikan Kitabullah. Di atas kertas, semuanya terlihat indah. Tapi di dalam kelas, mahasiswa lebih takut pada aturan kampus ketimbang takut pada kebodohan. Mereka dipaksa sibuk mengejar sertifikat ketimbang ilmu. Mereka lebih sering mendengar pidato rektor tentang moralitas ketimbang mendapatkan ruang untuk berpikir bebas.

Mungkin, di suatu sore, kelima tokoh ini akan duduk di sebuah sudut kampus, melihat mahasiswa yang berjalan dengan wajah lelah, tak lagi membawa buku-buku besar berisi ide-ide besar, tetapi hanya membawa lembaran-lembaran modul yang harus dihafal untuk ujian besok.

Dan salah satu dari mereka akan berkata dengan nada getir:

"Kita tidak sedang mencetak pemimpin, kita sedang mencetak karyawan."

Lalu mereka terdiam, menatap langit yang mulai gelap. Di kejauhan, gedung rektorat tetap berdiri tegak. Kampus ini tetap beroperasi seperti biasa. Mesin-mesin akademik tetap berjalan. Tidak ada yang berubah. Tidak ada yang bertanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun