Jingga, aku melihatnya kembali tersenyum indah menyapa dunia. Walau kini perlahan ia redup termakan usia namun cahayanya akan abadi, keabadian laksana matahari tunggal namun tidak esa. S
egenap insan terlarut dan abadi ketika melihatnya, jika jingga itu hilang maka terleburlah semua insan dalam lelapnya malam.
 Namun ketika mata hati enggan terpejam, senyuman bagaikan iblis yang selalu menggoda membawa semua kehidupan larut, terhanyut oleh kebaikan yang keji.Â
Hanya ada kesunyian selalu menghantui manusia-manusia yang mencintai kebaikan bersyarat, ia memang jingga itu abadi namun dia bukanlah esa.Â
Kelarutan membawa insan itu pada kebenaran yang sesat, melampaui batas panca indara berhayalnya, walaupun keterbatasan berfikir tidak terbatas oleh rasional akal.Â
Tidak semua mahkluk mampu melampaui batas berfikir akal rasionalnya, karena keesaan bukan hanya teologi dan filsafat semata namun keteguhan khayal mampu untuk melihat semua imajinasi yang terlukis oleh kemarahan jingga.Â
Mungkin semua insan mampu menatap jingga namun tidak semua khayalan berbicara tentang akal.