Mohon tunggu...
rasyid
rasyid Mohon Tunggu... -

seorang mahasiswa yang mencoba menganalisis apa yang terjadi di sekitarnya. mengungkapkan kegundahan hatinya. dan mempertanyakan apa makna semua ini.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sesat Pikir Garis Kemiskinan

11 September 2011   07:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:03 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Untuk kesekian kalinya, saya membaca anggota Dewan ataupun pengamat berbicara tentang garis kemiskinan. Terakhir Wakil Ketua Komisi XI DPR, Harry Azhar Aziz, angkat bicara. Ia mengatakan garis kemiskinan harus direvisi. Ya, saya sangat setuju tentang itu. Tapi, ada sesat pikir di dalam argumen yang dia bangun.

Berikut link-nya: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/09/11/13473438/Garis.Kemiskinan.Harus.Direvisi

Salah satu kutipannya adalah "”Kalau garis kemiskinannya Rp 230.000, lalu bagaimana orang yang hanya menghasilkan Rp 280.000 sebulan? Itu kan berarti dia hanya punya Rp 9.000 sehari, cukup apa uang sebesar itu. Sudah banyak pengemis yang menghasilkan Rp 10.000 sehari, masa mereka tidak termasuk orang miskin,” ujar Ketua Komisi XI DPR Harry Azhar Azis di Jakarta, Minggu (11/9/2011).

Ada salah kaprah dalam pemahaman kita dalam memahami garis kemiskinan versi BPS. BPS juga kurang menyosialisasikan dengan baik. BPS menggunakan pendekatan pengeluaran per kapita, Rp 230.000 itu adalah pengeluaran per kapita (per kepala). BPS menghitung kebutuhan dasar makanan 2000 kalori, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan minimum. Lalu angka tersebut dihitung menjadi angka kebutuhan dasar per kepala. Artinya, angka tersebut adalah angka yang dibutuhkan oleh 1 orang untuk bisa memenuhi kebutuhan minimumnya.

Jadi artinya, garis kemiskinan Rp 230.000 itu bukan berarti jika seseorang telah menghasilkan Rp 240.000, lalu dia tidak dianggap miskin. TIDAK. itu pemahaman yang keliru.

Garis kemiskinan Rp 230.000 per kapita harus dikonversi terlebih dahulu untuk bisa menjadi garis kemiskinan "keluarga". Jika 1 keluarga beranggotakan 4 orang, maka garis kemiskinan keluarga itu adalah 4 x Rp 230.000 = Rp 920.000. Jadi, jika kepala rumah tangga atau gabungan seluruh anggota keluarga (misal ayah dan ibu bekerja) tersebut memiliki penghasilan Rp 920.000, keluarga tersebut tidak dianggap miskin. Penghasilan tersebut setara Rp 30.667/hari. Angka garis kemiskinan sendiri berbeda-beda di setiap provinsi.

Di sini, saya tidak ingin membela BPS atau Pemerintah atau siapa saja. Saya hanya ingin meluruskan pemahaman kita mengenai garis kemiskinan. Jangan sampai ada pengamat yang mengaku pengamat EKONOMI berkata "masa' orang dengan penghasilan Rp 10.000/hari (Rp 300.000/bulan) sudah dianggap tidak miskin". Pernyataan itu mengarah sesat karena jika ia mempunyai 3 tanggungan, maka jelas dia dikategorikan miskin. Karena, garis kemiskinan keluarga dia adalah Rp 920.000/bulan (jika menggunakan ilustrasi di atas).

Saya heran mengapa hal seperti ini tidak tersosialisasi dengan baik. Dan media juga tidak membantu untuk memahami secara benar. Dan kita dibiarkan menerima pemahaman dari (orang yang mengaku) pengamat EKONOMI, anggota Dewan yang terhormat yang keliru.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun