Mohon tunggu...
BANYU BIRU
BANYU BIRU Mohon Tunggu... Guru | Pecandu Fiksi

Orang yang benar-benar bisa merendahkanmu adalah dirimu sendiri. Fokus pada apa yang kamu mulai. Jangan berhenti, selesaikan pertandinganmu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Wage

16 Februari 2025   16:40 Diperbarui: 16 Februari 2025   16:40 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/mengenal-sang-pencipta-indonesia-raya-wage-rudolf-supratman/

"Hei, Bung, kenapa diam saja? Sekali lagi lengah, kau bisa mati."

Aku berbalik badan. Seorang pria kurus berkaca mata menatap heran. Aku tidak mengenalnya, tetapi air mukanya malah setengah memaksa.

"Heh, malah bengong, begitu. Ayo!" Nadanya terdengar memaksa.

Ternyata betul, orang yang diajaknya bicara adalah aku. Mau tak mau, aku akhirnya mengikuti langkahnya. Naluriku bilang dia bukan orang jahat, bahkan aku tidak merasa asing dengan wajahnya. Kaca mata bulatnya itu sangat khas.

"Wage, tunggu!" Seorang pria lain memanggil nama laki-laki itu, "Bagaimana? Kau siap bertemu dengan anggota yang lain?"

Tentu saja aku tidak mengerti topik pembicaraan mereka. Namun, kata PKI dan pemerintah kolonial berhasil membuatku bergidik ngeri. Ini pula yang membuatku sadar bahwa seharusnya aku tidak berada di sini. Banyak orang-orang Belanda berkeliaran, mobil-mobil Cevhrolet dan mobil jenis lain yang belum pernah kulihat sebelumnya berbaris di pinggir jalan raya. Terlihat sekali perbedaan kelas antara mereka dengan pribumi yang hanya mengendarai becak. Memang ada beberapa dari golongan tersebut yang menaiki becak, tetapi aku kasihan saja melihat pengemudinya terbakar sinar matahari.

"Yatno, sini, kau kenapa sejak tadi seperti orang linglung begitu?" seru Wage.

Dia tahu namaku. Kenapa aku tidak mengenal mereka?

"Oh iya, kau belum tahu dia. Silakan berkenalan dulu." Wage mempersilakan

Laki-laki itu mengayunkan tanggannya, "Muhammad Tabrani, saya redaktur Hindia Baru dari organisasi jong java." Ia melirik Wage sebentar, "Dari organisasi mana?" tanyanya.

Aku gelagapan. Jangankan organisasi, aku saja bingung kenapa bisa tiba-tiba ada di sini.

"Oh, dia ini rekanku. Bukan dari organisasi manapun. Kami datang melakukan tugas. Juga berharap dengan hubungan yang terjalin ke depan, pers bisa terus menggalakkan pergerakan ini. Itu saja."

Wage memberikan anggukan kecil. Sepertinya ia memahami situasiku. Laki-laki Bernama Muhammad Tabrani itu manggut-manggut. Kami digiring masuk ke dalam sebuah ruangan. Di sana ada banyak pemuda yang sepertinya sudah menunggu. Mungkin mereka ini adalah anggota organisasi-organisasi pemuda yang sempat disinggung tadi.

"Bung, apa sebenarnya tujuan organisasi ini?" Jiwa wartawan Wage keluar.

Tabrani tidak menjawab. Ia justru memberikan lembaran kertas yang kemudian kuketahui adalah dokumen berisi keputusan hasil musyawarah pada tanggal 15 Nopember 1925. Isinya membuat aku dan Wage terkagum. Dari binar mata Wage, ia seperti terinspirasi. Wage bersemangat sekali menyodorkan dokumen itu dan menyruhku membacanya.  Aku tidak mengerti sejarah, bahkan bisa dibilang membencinya ketika duduk di bangku SMA. Namun, kali ini aku bisa merasakan spirit dari anak-anak muda ini. Semangat yang meluap-luap begitu memenuhi ruangan ini. Dan akhirnya aku sedikit paham bahwa aku berada di lini masa 1925, 20 tahun sebelum Indonesia merdeka. Itu artinya aku berada hampir 100 tahun sebelum Indonesia merdeka.

***

"Yatno, kita belum resmi berkenalan," kata Wage setelah meletakkan tas selempang berbahan kulitnya. Terakhir aku melihat tas seperti itu waktu kelas 6 SD, itu pun milik kakek yang kudapat dari loteng. Aku terpana.

"Wage Rudolf Supratman. Kau bisa panggil Wage atau Supratman."

Aku tercekat. Tak bisa dipercaya. Jadi inilah sang maestro pencipta lagu yang akhirnya dinyanyikan seluruh rakyat Indonesia. Aku menyambut uluran tangannya dengan gemetar,

"Su...Suyatno," jawabku singkat.

"Aku tahu namamu. Itu jelas tertulis di situ." Ia menunjuk dadaku. "Aku hanya penasaran dengan asal-usulmu. Kau begitu mencolok. Kau sangat... sangat berbeda."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun