Mohon tunggu...
BANYU BIRU
BANYU BIRU Mohon Tunggu... Penulis - Guru | Pecandu Fiksi

Orang yang benar-benar bisa merendahkanmu adalah dirimu sendiri. Fokus pada apa yang kamu mulai.Jangan berhenti, jangan merendah, selesaikan pertandinganmu. Kita berkarya untuk keabadian. Sesungguhnya karya adalah anak. Biarkan ia berproses, tumbuh dewasa dan menemukan jodohnya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Radio Milik Bapak

13 April 2022   20:20 Diperbarui: 13 April 2022   20:36 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Edited using Canva by Rapael

            Tidak ada yang lebih membahagiakan daripada mendengar suaranya. Suara yang kurindukan sejak lima tahun lalu. Suara itu jelas-jelas diiringi oleh isak yang tertahan, membuatnya terdengar bergetar. Berbeda denganku, aku meluapkannya, aku melepaskan kerinduanku di malam ini. Aku tak memedulikan program yang kubawakan. Aku hanya ingin melepaskan penderitaanku karena sudah lama merindukannya. Suara itu menandakan penerimaan. Suara itu memanggilku pulang. Suara itu, suara Bapak.

Aku teringat akan meja dan kursi kayu yang menempel dengan dinding jendela. Tempat bapak menyeruput kopi sambil memandang jalan setapak di depan rumah. Tak lupa dengan radio berwarna hitam pekat menghantarnya hingga pada tegukan terakhir. Ia menghantarkan matahari keperaduan dengan duduk di kursi itu. Setiap sore bapak begitu dan tidak ada yang berani mengganggu. Bukan karena ia galak, bukan juga karena ada pertikaian. Hanya mungkin seisi rumah tak mau mengganggu kesenangannya---kecuali aku. Aku juga suka mendengar radio, hanya berbeda selera. Bapak menyukai siaran berita sedangkan aku meyukai siaran lagu-lagu dangdut. Perbedaan inilah yang membuatku dekat dengan Bapak, sedangkan bapak merasa jengkel apabila aku berada di dekatnya.

Aku adalah anak pertama dari tiga buah cinta Bapak dan Ibu. Diantara saudara-saudaraku yang lain, bisa dikatakan aku yang paling sering disemprot oleh ocehan bapak. Bukan karena nakal, tetapi karena aku yang paling sering mengganggunya saat asik mendengarkan radio. Kala itu senandung "Muara Kasih Bunda" dari Erie Suzan begitu enak ditelingaku. Lagu itu sering diputarkan hingga aku begitu hapal suara biola sebagai intronya, lirik hingga cengkoknya. Jika aku sudah duduk di kursi panjang bersama Bapak, ia akan dengan segera menggeser radio, menjauhkannya dari hadapanku, karena ia tahu, tangan usilku ini akan segera bekerja untuk mencari frekuensi siaran dangdut favoritku.

Masa-masa itu berlalu seiring aku beranjak dewasa. Usiaku kini 27 tahun dan sudah beristri. Inilah masa-masa terberat dalam hidupku ketika keputusanku akhirnya membentangkan jarak antara diriku dengan bapak. Bapak tidak pernah merestui pernikahanku dengan wanita yang tidak jelas asal-usulnya---ini karena istriku merupakan hasil dari hubungan diluar nikah dan tidak jelas siapa orang tuanya. Bapak adalah sosok yang teguh pendiriannya. Tidak ada yang bisa membantah kata-katanya, termasuk ibu. Membawa wanita yang tidak jelas bibit-bobotnya, bagi bapak adalah aib. Memboyong isteriku ke rumah hanya akan menambah beban keluarga dan justru menyembunyikan kotoran orang lain. Menjadi buah mulut dan bahan cibiran orang.

Bagiku, pandangan Bapak jelas salah. Masa lalu seseorang tidak selalu perlu diungkit. Seburuk apapun manusia dengan masa lalunya yang kelam, ia pantas untuk mendapat penghargaan dan kebahagiaan. Tidak ada manusia yang bisa menentukan takdirnya. Aku ingin membahagiakan istriku, menjadikannya lebih berharga, menyatu dengannya menjadi sebuah keluarga. Tidak peduli asal-usulnya, yang paling penting adalah rumah kami menjadi tempat paling nyaman untuk pulang.

Hati yang sama-sama keras akhirnya melemparku keluar dari rumah. Bapak mendepakku bahkan tak mau menginjakkan kakinya di pesta pernikahanku. Bapak tak lagi pernah berbicara denganku sejak saat itu. Hanya ibu yang bisa menjadi perantara salamku untuk Bapak walaupun aku tak pernah mendapat balasan. Kebiasaannya yang belum berubah juga kuketahui dari ibu. Katanya juga, Ayah menjadi lebih pendiam, lebih dingin dan bahkan mulai tak segan membentak ibu apabila diganggu. Aku merindukan Bapak. Aku rindu duduk disampingnya walau hanya untuk menemaninya duduk sambil mendengarkan siaran beritanya yang membosankan. Aku juga rindu sesekali mengganggunya, menukar frekuensi hanya untuk mencari siaran dangdut. Aku yakin, Bapak pasti akan sangat jengkel.

Kerinduanku kepada bapaklah menghantarku pada pekerjaan ini. Saat aku on air dalam program ini, orang yang pertama kusapa adalah Bapak. Dalam setiap sapaanku, ada doa yang mengiringinya setiap waktu. Aku tidak tahu apakah bapak mendengarku. Mungkin bapak lebih senang mendengar berbagai berita dari berbagai pelosok negeri namun membenci kabar berita dari anaknya sendiri. Tetapi aku tak peduli, aku tidak akan pernah bosan merindukan suara Bapak. Bagiku, rasa rindu ini menjadi pertanda bahwa aku mencintainya bahkan saat ia menendangku keluar rumah dan menyumpahiku dengan kutukan karena telah durhaka. Rasa rindu ini menjadi menjadi sebuah pengharapan dalam ketidakpastian hubunganku dengannya.

Dari ruangan ini aku menyapa banyak orang, menuruti permintaan banyak orang, bahkan sesekali melontarkan lelucon yang kiranya bisa mencairkan suasana untuk menghilangkan kejenuhan banyak orang. Dari ruangan ini aku juga mengharapkan bisa berbincang dengan suara yang kurindukan walau hanya sekadar titip salam atau meminta lagu untuk diputarkan.

Sekarang aku lebih bergairah, memiliki semangat lagi. Suara malam kemarin membuatku lebih menikmati pekerjaan ini. Suara malam kemarin membuatku lebih percaya diri. Aku tidak lagi peduli pada pertengkaran yang pernah terjadi. Aku juga tidak khawatir tentang pandangan Bapak kepada isteriku kini. Karena kutahu, disana, Bapak dengan radio miliknya, ia sedang mendengarkanku. Mendengarkan lagu dangdut, menggantikan siaran berita kesukaannya sambil menimang cucu yang ia biarkan duduk dipangkuannya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun