Mohon tunggu...
Ranto Sibarani
Ranto Sibarani Mohon Tunggu... Advokat/Pengacara -

Ranto Sibarani adalah seorang Advokat/Pengacara. Saat ini sedang menyelesaikan study Pascasarjana Ilmu Hukum di Universitas Sumatera Utara. Selain aktif sebagai Konsultan Hukum, juga aktif sebagai Tenaga Ahli di Komisi A DPRD Provinsi Sumatera Utara.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Negara Dikalahkan Korporasi Sawit

15 Oktober 2014   00:54 Diperbarui: 21 April 2016   10:24 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="sawit"][/caption]

Sikap IPA Sumut (Indonesia People Alliance’s) Terkait RSPO

Kota Medan, Sumatera Utara kembali menjadi tuan rumah dalam membicarakan kebijakan-kebijakan ekonomi tingkat tinggi dunia. Setelah sebelumnya menjadi tuan rumah pada pertemuan APEC (Asia Pacific Economic Cooperation) dalam Senior Official Meeting ke 3 di Medan pada 22 Juni-6 Juli 2013 yang lalu, kemudian menjadi tuan rumah RSPO 11th Annual Roundtable Meeting on Sustainable Palm Oil (RT11), pertemuan tentang minyak sawit berkelanjutan terbesar di dunia, yang tergabung dalam RSPO (Roundtable Sustainable on Palm Oil ) yang akan diselenggarakan pada tanggal 11-14 November 2013.

Jika kita amati secara makro, agenda-agenda internasional ini berhubungan tidak jauh dari kebijakan pemerintah kita yang sangat permisif terhadap agenda ekonomi internasional, yang memberikan kebebasan kepada pasar.  “Mengapa di Sumatera Utara?” Karena Sumatera Utara telah ditetapkan melalui berbagai regulasi khususnya dalam hal pengembangan ekonomi oleh pemerintah dibawah rezim SBY-Boediono saat ini, salah satunya yaitu proyek Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang fokus pelaksanaannya adalah pembangunan dan perluasan investasi ekonomi sektor rill serta infrastruktur pendukung konsep perdagangan bebas. Dimana sejatinya rencana tersebut merupakan program yang akan menciptakan kondisi negara Indonesia semakin kehilangan kedaulatannya secara sosial, budaya, dan ekonomi melalui berbagai investor-investor asing. Bahkan faktanya MP3EI secara nasional yang terdiri dari 6 koridor pembangunan telah menetapkan nilai investasi sampai Rp. 4000 Triliun. Selain itu pemerintah kita juga bahkan sampai menawarkan bebas pajak khususnya untuk Uni Lever yang bahan pokok produksinya adalah minyak sawit jika ikut berinvestasi di Sumut.

RSPO pada awalnya dikonsep untuk memastikan bahwa seluruh aktifitas yang terkait dengan sawit dari hulu ke hilir agar berkelanjutan. Tujuannya agar Hak dan penghidupan masyarakat setempat, buruh dan petani sawit terkena dampak terjamin, dilindungi dan meningkat lebih baik dalam produksi minyak sawit berkelanjutan sesuai dengan prinsip dan kriteria RSPO. Konsep RSPO ini awalnya digagas oleh WWF dan Migros. Namun, seberapa baikpun tujuan pembentukan RSPO tersebut, IPA Sumut memandangnya bukan sebagai solusi dari konflik yang lahir dari ekspansi sawit. RSPO hanyalah instrument yang dibuat untuk dan oleh pasar yang melihat absennya peran negara dalam melindungi rakyatnya dari ekspansi korporasi sawit.

Ekspansi Sawit dan Menurunnya Petani Pangan

Sebagaimana kita ketahui, harga minyak dan inti sawit relatif terus meningkat dalam 20 tahun terakhir. Permintaan minyak dan inti sawit terus meningkat, khususnya dari  Eropa, Amerika, China dan India. Dua negara terakhir menyerap hampir dua pertiga produksi minyak sawit Indonesia yang angka produksinya diperkirakan akan mencapai 25 juta ton. China menampung 6,65 juta ton, dan India mengimpor 7,1 juta ton minyak sawit Indonesia tahun 2012.

Indonesia memproduksi 50% dari produksi global minyak sawit, menikmati 9,11 miliar US Dollar atau sekitar 12 persen dari total pendapatan pemerintah tahun 2011.  Komoditi ini diprediksi akan terus menjanjikan keuntungan, karena kandungan minyak nabati yang jauh lebih besar dibanding  tanaman lain seperti kedelai, dan jagung. Hal ini memicu ekspansi yang hebat, baik di Asia tenggara, maupun daerah tropis di Afrika dan Amerika. Di Indonesia sendiri, luas perkebunan sawit dalam 20 tahun terakhir meningkat pesat dari hanya sekitar 500.000 hektar tahun 1990-an, menjadi 12 juta hektar tahun 2012 (Sawit Watch, 2013). Pemerintah Indonesia dan pengusaha sawit yang bernafsu untuk melakukan ekspansi bahkan telah memperkirakan masih tersedianya stok lahan hampir 30 juta hektar lagi untuk sawit.

Dengan keanggotaan yang berjumlah 842 perusahaan/organisasi per Mei 2012, RSPO mengalami kemajuan yang sangat pesat secara keorganisasian dan secara manajemen. Padahal konferensi pertama RSPO di Malaysia pada tahun 2003 hanya dihadiri oleh 200 anggota dari 16 negara. Dengan perkembangan pesat ini, bukan berarti RSPO telah menyelesaikan permasalahan dalam mata rantai sawit berkelanjutan. Meskipun pengaruh RSPO dalam memastikan keberlanjutan, hak-hak buruh, dan masyarakat adat telah diakui oleh beberapa stakeholder sawit, namun kenyataannya konflik yang timbul tidak dapat di reduksi.

Kita selalu membaca di surat kabar cetak dan elektronik bagaimana Komunitas lokal, petani dan masyarakat adat terus tergusur karena pencaplokan tanah untuk perkebunan sawit, peningkatan konflik agraria di seluruh wilayah Indonesia (KPA, 2011). Pada tahun 2007 konflik yang berkaitan dengan perkebunan sawit tercatat 514 kasus, bandingkan dengan jumlah konflik tahun 2010 yang meningkat menjadi 663 kasus (Sawit Watch). Dari sekitar 4 juta buruh kebun sawit skala besar, hanya sepertiga yang berstatus buruh tetap, selebihnya adalah buruh harian lepas, dan kernet yang tidak terdokumentasi, tidak digaji layak, serta bekerja dengan basis target (KPS, 2011).

Hal tersebut membuktikan bahwa RSPO bukanlah jawaban dari persoalan rakyat Indonesia yang mayoritas adalah petani. Meningkatnya konflik agraria yang dihadapi petani akan diikuti dengan meningkatnya konflik perburuhan. Konversi lahan pertanian pangan menjadi perkebunan sawit tentulah akan mengurangi jumlah petani. Karena secara massif, angka petani Indonesia saat ini menurun, rumah tangga petani dari 31,17 juta rumah tangga pada 2003 menjadi 26,13 juta rumah tangga pada 2013. Dalam 10 tahun kita kehilangan 5,07 juta rumah tangga petani. Menurunnya angka petani ini pasti akan menyumbang defisitnya hasil pertanian mereka yang mayoritas menanam bahan pangan. Dengan penurunan angka petani ini, maka krisis pangan akan meningkat dan jumlah buruh di sektor sawit akan meningkat tajam.

Jika negara kalah, maka generasi saat ini akan mempersembahkan suatu sistem  perbudakan yang akan dinikmati oleh anak cucu kita dikemudian hari. Perkebunan sawit akan menjadi milik korporasi-korpirasi yang memiliki hak guna sampai puluhan bahkan ratusan tahun tanpa batas. Manusia yang lahir di kemudian hari tidak lagi berkesempatan memiliki perkebunan sawit, mereka hanya bisa menjadi buruh di perusahaan sektor sawit. Berkelanjutan dalam bisnis dan berkelanjutan dalam menciptakan buruh-buruh yang harus mengabdi pada korporasi sawit. Sementara negara hanya sibuk dengan menghitung pajak industri sawit tersebut tanpa pernah bertindak merebutnya dari tangan-tangan rakus yang bertopengkan pasar bebas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun