Mohon tunggu...
Ranna Babel
Ranna Babel Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Hy

Anak Pend. IT yang merangkap suka Sastra, Seni dan Nicholas Saputra.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Alasan Saya Tidak Memilih Pesantren sebagai Tempat Belajar Anak Saya Kelak

16 Januari 2022   04:30 Diperbarui: 16 Januari 2022   06:00 452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebagai muslim, memiliki anak yang sholeh dan sholeha adalah dambaan setiap orang tua, anak yang taat beribadah dan hormat kepada sesamanya bukan karena paksaan, tetapi karena ketakutannya kepada sang pencipta.

Menempuh pendidikan di pesantren atau biasa disebut mondok bukan lagi sesuatu yang baru di Indonesia , dengan banyaknya manfaat serta terbukti secara kualitas membuat banyak orang tua memilih jalur ini sebagai cara membentuk kepribadian dan pemikiran anaknya. 

Motivasi tiap orang tua berbeda-beda dalam memasukkan anaknya ke pesantren, ada agar anaknya menjadi penghafal Al-Quran, memastikan anaknya ada di lingkungan yang baik, tidak ada waktu untuk anak sehingga dititipkan di pesantren sebagi tempat yang dianggap terjamin dan berbagai alasan lain.

Saya sendiri kagum dengan sistem pendidikan yang diterapkan dalam pesantren, hanya saja jika masih bisa memilih, saya sepertinya kelak tidak memilih pesantren sebagai tempat anak saya bertumbuh. Alasannya begini:

Pertama, saya penasaran pada kemampuan parenting saya, saya ingin membuktikan sendiri apakah saya bisa membentuk seorang manusia yang berkualitas melalui pola asuh yang saya terapkan. Jika saya memilih pesantren yang mana anak saya akan tinggal disana, otomatis saya kehilangan kontrol akan tumbuh kembangnya. 

Jika itu terjadi, perilaku anak saya adalah sebagian besarnya hasil didikan lingkungan pesantren, bukan dari saya. Sedangkan goals saya dalam memiliki anak adalah ingin membuat dia menjadi manusia utuh, melalui pendekatan langsung yang saya berikan. Bukan semata-mata dilahirkan lalu dibentuk secara natural oleh sekitarnya. 

Bukan juga bermaksud mengendalikan anak sepenuhnya,hanya saja ingin benar-benar mengarahkan agar menjadi manusia yang punya kepribadian menarik. Dan ini yang saya kejar jawabannya, apakah saya mampu atau tidak?

Kedua, Sekolah di pesantren berarti kita akan terpisah oleh anak kita. Bagi saya, moment anak kepada orang tuanya, hanya saat dia lahir hingga lulus sekolah. Sebab saat lulus, lanjut ke perguruan tinggi ataupun bekerja, itu sudah keharusan orang tua untuk melepas anak dari genggamannya. Lalu, jika saat sekolah saja, anak sudah pesantren, kapan kita menikmati masa-masa dengan anak?

Ketiga, saya mungkin akan merestui anak saya sekolah di pesantren jika itu murni keputusannya sendiri, atas pertimbangangan yang dia sadari sepenuhnya. Pertimbangan yang saya tahu betul adalah pertimbangan yang berangkat dari analisis yang rasional bukan karena hasrat semata yang tidak punya landasan kuat. 

Dan yang terpenting juga adalah ketika saya tahu di usia yang masih belia itu, dia telah mampu mengambil keputusan atas dasar analisis yang baik, itu sudah cukup menjadi prestasi buat saya sebagai orang tua.

Sekiranya itu garis besar alasan saya, saya juga merasa di tiap jenis sekolah baik pesantren atau SMA punya valuenya sendiri. Pesantren dan sekolah umum masing-masing punya kelebihan dan kekurangannya. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun