Mohon tunggu...
Mirna Aulia
Mirna Aulia Mohon Tunggu... profesional -

Hanya seorang musafir. Generasi anak SD era 80-an. BUKAN pengguna Facebook. BUKAN pengguna Twitter. BUKAN pengguna Linkedin. BUKAN pengguna Path. BUKAN pengguna Instagram. Hanya memiliki empat akun Sosmed: kompasiana.com/raniazahra, mirnaaulia.com, Indonesiana (Mirna Aulia), dan CNN iReport (Mirna Aulia) . Banyak orang memiliki nama yang sama dengan nama musafir (baik di media-media sosial maupun di search engine). Sehingga, selain keempat akun di atas, kalau pembaca menjumpai nama-nama yang sama, itu BUKAN AKUN musafir. Untuk hasil pencarian melalui search engine: musafir BUKAN berlatar belakang dan TIDAK berkecimpung di bidang Kedokteran Gigi, Farmasi, Psikologi, Biologi, MIPA, Kepartaian, Kehutanan, Lembaga-lembaga Kehutanan, maupun Pertanian. Selamat membaca dan semoga artikel yang musafir tulis dapat bermanfaat bagi para pembaca semua. Terima kasih.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kisah Poligami Si Ikhlas dan Si Bahlul

1 Desember 2015   07:28 Diperbarui: 1 Desember 2015   10:59 540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Iya, aku coba meneladani baginda Rasulullah SAW, ikut berpoligami. Yang kemarin aku nikahi itu jadi istri keempatku. Umurnya sepantaran dengan anak bungsuku, 18 tahun.”, jawab si Bahlul. “Kau sendiri  kudengar juga menikah lagi untuk yang keempat ‘kan? Sama lah kita.”, Bahlul melanjutkan dengan nada riang gembira.

Oh, begitu ya menurutmu, Lul?”, si Ikhlas merespon kata-kata si Bahlul dengan nada datar.

“Ya iyalah, Ikhlas. Kita sama.’Kan sama-sama berpoligami”, jawab si Bahlul lagi.

“Memangnya istri kedua dan ketiga kau usianya berapa, Bahlul?”, tanya si Ikhlas sembari memakan roti Sambosa pesanannya.

Si Bahlul langsung antusias. Kedua pupil matanya tampak membesar. “Nih, ya, aku ceritakan. Istri pertamaku, kau tau sendiri lah, sudah tua. 'Kan dia sepantaran sama kita, sudah 55 tahun. Kalau istri keduaku, umurnya masih 30 tahun. Dia itu anaknya saudagar Kurma di kampungku, Kampung Seribu Badai. Nah, kalau istri ketigaku umurnya 20 tahun, cantik sekali. Kalau digambarkan mungkin seperti Ratu Cleopatra. Dan istriku yang keempat ini yang paling spektakuler, kau sudah ku beritahu tadi, umurnya baru 18 tahun. Lebih cantik lagi dari istriku yang ketiga.”

Si Ikhlas hanya manggut-manggut mendengarkan penjelasan si Bahlul. “Kalau kau sendiri? Ceritakan tentang istri-istrimu!”, si Bahlul kemudian menanyakan perihal istri-istri si Ikhlas.

“Kalau istri pertamaku, kau sudah tahu sendiri. Dialah yang paling cantik. Usianya sekarang sudah 45 tahun dan masih tetap sama cantiknya di mataku. Waktu aku nikahi dulu, usianya baru 15 tahun. Kalau istri keduaku usianya sudah 60 tahun, lebih tua dariku. Dia janda dari mendiang sahabatku di Kampung Seribu Menara. Waktu aku nikahi, anaknya tiga dan masih kecil-kecil. Sedangkan istri ketigaku usianya lebih tua lagi, sudah 65 tahun. Dia juga janda mendiang temanku. Nah, kalau istri keempatku ini yang paling disayang oleh semua istriku, mulai istri pertama sampai ketigaku, juga anak-anakku.”, si Ikhlas menjelaskan panjang lebar dengan sangat antusias.

“Loh, kok bisa begitu?? Mana ada istri keempat paling disayang. Kalau istri keempatku justru adalah yang paling dibenci oleh istri-istriku yang lain. Aku saja sampai pusing kalau diantara istri-istriku itu saling ribut karena cemburu. Istri pertamaku saja sempat mau bunuh diri gara-gara dia menyangka kalau aku lebih cinta sama istriku yang keempat.”, tanya si Bahlul antusias sambil berharap mendapatkan tips yang berguna untuk merukunkan keempat istrinya yang setiap hari saling ribut.

Si Ikhlas tersenyum tipis, kemudian melanjutkan penjelasannya. “Iya, memang benar kok. Istri-istriku yang lain paling sayang sama istri keempatku. Mereka semua itu menganggap istri keempatku itu sudah seperti ibu mereka sendiri. Istriku yang keempat itu usianya sudah jauh di atasku. Usianya sudah 75 tahun, selisih 20 tahun sama diriku. Dia janda mendiang temanku juga.”

Si Bahlul tampak geleng-geleng kepala berulang kali. Ia tak habis pikir. “Aduh, Ikhlas…Ikhlas! Kau ini bagaimana sih!? Bukannya nikah lagi itu cari istri yang lebih muda dan lebih cantik. Lha kau ini ‘kok aneh! Nikah lagi malah dapat yang makin tua. Yang terakhir malah sudah nenek-nenek. Bukan kemajuan itu namanya, melainkan kemunduran. Ya ampun! Kau tak menikmati surga dunia dong!”, cetus si Bahlul merasa berada di atas angin.

“Memang tidak. Aku memang tak berharap surga dunia dengan poligami yang aku jalani saat ini. Aku hanya berharap surga akhirat, Lul. Aku hanya meneladani cara berpoligami Rasulullah SAW.”, jawab si Ikhlas dengan tenang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun