وَلَا تُنكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا
Artinya: Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.
Oleh karena ayat-ayat tersebut sangat terang dan secara eksplisit mengemukakan larangan bagi wanita muslimah menikah dengan pria non-muslim, maka tidak ada satupun ulama yang berbeda pendapat dalam masalah ini.
Sehingga kemudian pilihan yang sering dianggap terbaik adalah meminta pria non-muslim tersebut untuk menjadi muslim terlebih dahulu untuk memenuhi syarat sah pernikahan sesuai Hukum Islam. Kalau pria non-muslim tersebut bersedia, maka pernikahan dapat dilangsungkan, namun kalau ia tidak bersedia, maka pernikahan tidak dapat dilangsungkan.
Akan tetapi, apa yang akan terjadi apabila di kemudian hari si pria non-muslim itu kembali kepada keyakinannya semula alias MURTAD (keluar dari Islam) setelah pernikahan tersebut berlangsung? Fenomena ini sering terjadi karena pada dasarnya ia memeluk Islam bukan karena mendapatkan hidayah atau menemukan kebenaran Islam, melainkan karena ingin mendapatkan wanita muslim tersebut.
Apabila yang terjadi adalah demikian maka pernikahan tersebut dalam Hukum Islam dianggap BATAL. Ada tiga pendapat terkait waktu batalnya pernikahan akibat murtadnya suami (yang menyebabkan antara suami isteri menjadi berbeda agama), yaitu :
Pendapat pertama :
Pernikahan menjadi batal seketika itu juga, baik sebelum atau sesudah bersetubuh. Ini adalah pendapat madzhab Hanafiyah, Malikiyahdan salah satu dari dua riwayat yang ada dari Ahmad. Pendapat ini diriwayatkan dari Al-Hasan Al-Bashri, Umar bin Abdul Aziz, Ats-Tsauri, Abu Nur dan Ibnu Al-Mundzir.
Penjelasan untuk Pendapat Pertama :
Orang yang murtad diqiyaskan kepada orang yang mati, karena murtad merupakan sebab buruk yang ada pada dirinya, sedangkan orang yang mati bukanlah obyek untuk dinikahi. Oleh karena itu, tidak boleh menikahi orang yang murtad sejak zaman dahulu, dan selanjutnya ketentuan tersebut akan tetap demikian.
Pendapat Kedua :
Apabila murtadnya sebelum melakukan persetubuhan, maka pernikahan tersebut batal seketika itu juga. Namun apabila murtadnya setelah melakukan persetubuhan, maka pembatalan pernikahannya ditangguhkan hingga masa iddahnya habis. Jika orang yang murtad itu kembali masuk Islam sebelum masa iddahnya habis, maka dia tetap pada status pernikahannya. Dan jika dia masuk Islam setelah masa iddahnya habis, maka antara keduanya telah dinyatakan cerai sejak dia murtad. Pendapat ini dianut oleh madzhab Syafi’iyah dan Hanbaliyah dalam sebuah riwayat yang masyhur dari mereka.
Penjelasan untuk Pendapat Kedua :