Umar Bakry, sosok guru yang hidup dalam lirik lagu Iwan Fals ini mungkin tidak lagi bisa kita temukan di era globalisasi. Â Sebagai seorang guru, Umar Bakry merupakan sosok guru ideal yang menjadi idaman di setiap zaman. Sebagai guru, dia rela jasanya tidak dibalas dengan uang. Sebagai guru, dia tidak pernah mengeluh dengan keadaan, dan sebagai guru dia selalu ikhlas memberikan ilmunya kepada para peserta didik yang sudah menunggunya di kelas dengan penuh harapan. Jika semua guru di Indonesia dituntut seperti Umar Bakry, mungkin akan banyak calon guru yang mengurungkan niatnya menjadi guru.Â
Idealnya, tugas seorang guru memang seperti itu. Namun, pada saat sekarang ini tampaknya tugas tersebut sudah mulai terabaikan. Diralat kembali, bukan terabaikan melainkan diabaikan. Mungkin guru ideal ini hanya dapat kita temukan jika kita mencoba untuk mundur jauh ke masa sebelumnya. Masa di mana segala sesuatu belum diukur dengan uang (materi).
Hal apakah yang menyebabkan pergeseran tujuan tersebut? Apakah memang benar, guru sudah mulai jenuh dan kewalahan dengan tingkah peserta didiknya yang terlalu mengikuti perkembangan zaman? Apakah benar, guru dibebankan dengan banyak tugas dan tuntutan? Atau mungkin hati nurani seorang guru sudah membelot dari tujuan guru yang sebenarnya?
Deretan pertanyaan tersebut mengajak kita untuk melihat kenyataan yang ditemukan di lapangan saat ini. Perilaku peserta didik yang sudah keterlaluan tampaknya tidak bisa dijadikan sebagai alasan. Ketika peserta didik tidak lagi mau mendengarkan pituah guru, pada saat itulah guru harus mencari solusi agar peserta didik betah mengikuti proses belajar mengajar. Hal ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan perkembangan zaman yang diagung-agungkan oleh peserta didik.
Kemudian, untuk pertanyaan kedua. Jika dilihat secara umum, tugas dan tuntutan guru pada era globalisasi memang  jauh lebih banyak dibandingkan guru pada masa Umar Bakry. Seandainya ada guru yang menjadikan hal tersebut sebagai alasan, maka dapat dikatakan bahwa guru tersebut telah menjadi makhluk Tuhan yang kufur nikmat.Â
Sejatinya, tugas dan tuntutan kerja guru ini sudah disesuaikan dengan imbalan yang akan diteriman tiap bulannya. Belum lagi bagi guru yang sudah mendapatkan sertifikat profesional dan kemudian mendapatkan tunjangan sertifikasi yang cukup besar. Tunjungan sertifikasi ini sebenarnya bertujuan memperbaiki kualitas guru. Diharapkan dengan tunjangan sertifikasi ini, guru bisa lebih terpacu untuk mengasah kompetensinya. Tidak hanya labelnya saja yang profesional, tetapi pribadi nyatanya juga harus menunjukkan profesionalitas.
Jauh panggang dari api, istilah itulah yang dapat menggambarkan kekecewaan kita sebagai masyarakat awam tentang profesionalisme guru yang terlihat saat ini. Tunjungan sertifikasi membuat para guru berlagak seolah menjadi seorang jutawan atau mungkin kaum sosialita. Bukan kecakapan peserta didik yang menjadi fokus guru, melainkan penampilan fisik. Bahkan yang lebih mengejutkan, ada sebagian kecil guru yang menganggap sekolah hanya sebagai tempat memamerkan kekayaannya. Apakah jumlah harta yang dimiliki guru akan menunjang prestasi dan semangat belajar siswa?
Pertanyaan ketiga tampaknya perlu menjadi renungan. Sebagai seorang guru, mari kita tanya hati nurani masing-masing. Apakah tujuan mencerdaskan anak bangsa masih menjadi prioritas utama bagi kita? Mungkinkah Umar Bakry abad ke-20 akan terealisasi dengan memperhatikan perkembangan zaman yang ada?