Mohon tunggu...
Sissy NH
Sissy NH Mohon Tunggu... Buruh - Homo Sapiens

Beginikah rasanya menulis?

Selanjutnya

Tutup

Money

Belanja Lebaran dan Kesadaran Memilih Produk Dalam Negeri

3 Mei 2019   20:48 Diperbarui: 3 Mei 2019   21:24 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
travel.tribunnews.com

Tak lama lagi kita sebagai umat Islam bersua kembali dengan Ramadhan - untuk selama 30 hari kita berpuasa - dan pada penghujungnya kita merayakan Hari Raya Idul Fitri (Lebaran). Walau bukan suatu keharusan, namun sudah menjadi kelaziman masyarakat di Indonesia, bahwa jauh hari sebelum Lebaran tiba kita pun berbelanja secara ekstra, dialokasikan terutama pada pakaian, produk makanan/ minuman, sepatu, gawai, dan beberapa barang favorit lainnya.

Tak ayal, rutinitas tahunan ini tentu disambut baik oleh pelaku pasar, produsen dan pemasok dari barang-barang tersebut di atas. Sebagai calon konsumen kita dijejali oleh berbagai iklan, yang gigih menawarkan barang dagangan beraneka ragam. Termasuk tentunya, produk impor 'terselubung' ataupun yang terang-terangan menggelar merk berpamor pada etalase di pusat-pusat perbelanjaan.

Perang Harga atau Perang Gengsi, di dalam hati?

Konsumen yang rasional tentu akan memilih -- sesuai preferensinya - barang yang murah (pengorbanan sekecil-kecilnya) dan/ atau memiliki kualitas sebagus mungkin.

Maka di dalam benak - melalui kalkulator alam bernama otak -  kita akan membanding-bandingkan harga untuk produk tertentu, pakaian misalnya.

Tapi kala cara memilih ini kita percayakan pada yang namanya emosi, maka niscaya pilihan kita jatuh kepada produk yang prestisius, walaupun lebih mahal dari barang sejenisnya yang tak berlabel merk terkenal.

Baiklah, hal tersebut sah-sah saja, asalkan tidak memaksakan isi dompet (budget).

100% Cinta Indonesia?

Namun, pemilihan tersebut berubah krusial atau bahkan dilematis, ketika ketika dihadapkan slogan cantik "Cintailah Produk Indonesia". Tak pelak, rasa nasionalisme segera menyeruak ke benak kita. Bagai video yang terunggah dengan otomatis, terbayang para petani kapas yang tengah menanam, terlukis wajah-wajah penuh harap keluarga yang menyambutnya sesaat setelah memanen. Bak siluet yang bersambung-sambungan, tergambar pula bagaimana buruh konveksi di suatu pabrik, tengah menjahit, bergerak monoton seperti robot seharian, menghasilkan pakaian-pakaian berwarna-warni.

Kesadaran (awareness) kita tergugah.

Para petani, pemetik kapas, pemintal benang, pria wanita buruh konveksi, pengangkut, supir pengantar, pemasok, merekalah elemen dan unsur dari 'mesin' yang merajut pakaian yang dikenakan manekin-manekin di mall. Karenanya, kala merabai satu-persatu produk tersebut, nuansa lembut dan halus yang terasa, adalah keindahan sapaan kita kepada saudara-saudara setanah-air yang menenun dan mempersembahkan sepotong batik sutra tersebut. Ikhlas rasanya, sewaktu kita membayar barang produk negeri sendiri ini di kasir, seharga upah dan keringat mereka.

Berbelanja pun bisa menjadi aktivitas berpahala.

Kini, pandanglah.. Alangkah indah dan menawan gaun berbalut kepedulian kita tersebut. Selembar kebanggaan yang tak malu untuk dikenakan ber-silaturahmi di hari yang suci.

Akan menjadi berbeda halnya, jika opsi kita adalah produk asing. Ini bak tangan-tangan berjamaah yang berkontribusi membuka keran impor belaka. Walau tidak ada sanksinya, namun menjadi keputusan yang amat disayangkan.

Elaborasi di atas adalah manifestasi ketertarikan (interest) untuk mencintai produk dalam negeri.

Dimana pun cinta tak terpisahkan dengan kesetiaan. Dengan asumsi produk dalam negeri selalu menjaga mutu, dan bahkan tak berhenti berinovasi, maka produk nasional tersebut akan selalu terasa nyaman dikenakan. Kita akan jatuh cinta padanya, dari tahun ke tahun, tak berpindah hati ke alternatif lainnya. Kesetiaan adalah segel dan stempel tak berwujud atas cinta (desire).

Atas dasar tresna skala nasionalistik ini, pada gilirannya berbelanja produk tersebut tak berhenti hanya untuk sendiri, melainkan akan tumbuh afeksi untuk turut mengajak secara tutur-tinular, kepada orang-orang di sekitar, keluarga, teman, rekan kerja, tetangga, bahkan teman medsos kita di luar negeri. Pokoknya kepada semua orang, produk domestik kesayangan ini, kita beritakan ... dan promosikan.

Ajakan ini sebenarnya bisa dibaca sebagai representasi dari saling bahu-membahu dalam solidaritas di bidang perekonomian nasional.

Inilah pengejawantahan (action) atas rasa cinta.

Penjabaran di atas adalah mengenai empat tahapan dari gerakan cinta produk Indonesia, di mana prosesnya memang bersifat jangka panjang dan wajib dijaga kesinambungannya oleh seluruh lapisan masyarakat.

Ke-empat tahapan tersebut yakni:

  1. Menumbuhkan kesadaran / mawas diri (Awareness)
  2. Menimbulkan minat/ keinginan (Interest)
  3. Membangun rasa setia (Desire)
  4. Mengajak pihak lainnya (Action)

Selamat jelang Ramadhan. Selamat berbelanja. Selamat menjadikan produk lokal menjadi tuan di rumah sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun