Mohon tunggu...
Rangga Hilmawan
Rangga Hilmawan Mohon Tunggu... Human Resources - Pemikiran adalah senjata Mematikan. Tulisan adalah peluru paling tajam

Seorang Pemuda Betawi - Sunda

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

254| Kenangan bagai Genangan (?)

26 November 2020   20:02 Diperbarui: 27 November 2020   18:24 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto : relawan.id

melanjutkan dari -> cerita sebelumnya

Hujan menyisakan genangan dan sedikit kenangan.  Genangan cenderung menguap dengan cepat karena rasio luas permukaan terhadap volume yang tinggi dan cenderung berumur pendek karena adanya terpaan sinar matahari. lantas bagaimana dengan sebuah kenangan? menurutku cara alam menguapkan genangan sisa air pada sebuah permukaan dapat diaplikasikan dalam sebuah kenangan. Saat ini, aku sedang membiarkan kenangan-kenangan itu bersemayam, menghantui, sesekali mengganggu dan mengusik kehidupanku. aku tidak ingin memaksakan kenangan itu pergi, bukan aku masih berharap pada "masa lalu", hanya caraku untuk tidak membasahi permukaan samping, depan atau belakang, hanya tidak ingin membuat genangan pada ruang yang lain. Cukup satu ruang saja yang basah dan tergenang. Karena seberapa hebat aku untuk menghilangkan kenangan itu, semakin kuat dia untuk kembali, semakin dahsyat dia untuk menyakiti. kenangan itu mengerikan, adanya di kepala, sakitnya bisa dihati, dampaknya ada pada mata, dan resikonya (ada beberapa) sampai gangguan jiwa. Maka dari itu aku sadar, hidup bukan sekedar cinta-cintaan, tapi bukan berarti aku tidak mau lagi untuk jatuh cinta. Saat ini aku sedang berusaha untuk membesarkan luas permukaan hati, aku berusaha mencari sinar matahari lain, matahari yang mampu membantu agar genangan (kenangan) air ini menguap, bisa bersama kamu, bisa bersama teman yang lain, atau bahkan bertemu orang baru. 

Itu curhatan temanku saat malam menjelang pagi dipelataran sebuah bangunan peninggalan sejarah, yang diawali dari bebincang tentang bola, ngobrol santai ngalor-ngidul, dilanjutkan membahas kondisi negara, hingga konspirasi elite global, lalu pada pokok permasalahan, tentang asmara. Hingga adzan awal berkumandang, kita saling tatap dan bingung kemana harus pulang. Kami memutuskan untuk menunggu adzan subuh berkumandang, karena kemungkinan besar, pemilik kos sudah bangun untuk menunaikan ibadah subuh.

Saat itu, aku hanya bisa mendengarkan, sambil sesekali menepuk punggungnnya, mencoba menenangkan agar air mata tidak jatuh di tempat umum. Tapi seperti yang temanku katakan, kenangan akan berdampak pada mata, hingga tak kuasa menitihkan air yang sejatinya jarang dikeluarkan seorang lelaki. Aku tidak banyak berkomentar, aku bingung pada posisiku, antara mencoba menghentikan air mata yang keluar atau menahan argumenku yang entah akan menjadikannya lebih baik atau buruk. Hingar bingar kendaraan sudah tidak lagi terdengar, aku hanya bisa menatap sepasang sepatu dan segelas kopi pada wadah plastik, tangan kananku memegang sebatang rokok, dan tangan kiriku merangkul bahunya.

Beberapa hari terlewati, sesekali kutengok kekamarnya untuk sekedar basa-basi apakah sudah makan, atau ingin menitip belanjaan, temanku yang malang. Aku kenal dia, sosok yang tempramen, berperawakan tinggi besar, selalu paling depan ketika menyuarakan kebenaran diantara pagar betis sabhara yang disiapkan aparat keamanan. Temanku sudah tidak lagi periang, dia yang dulunya selalu menjadi pusat candaan, kini seakan tenggelam. Hanya karena perkara putus cinta.

Ingin rasanya kupukul bagian pelipis matamu yang sudah sembab sebelum kulayangkan bogem mentah, ingin kuinjak-injak tubuh bongsormu yang lemah lunglai karena kehilangan cinta, bahkan ingin sekali kubakar ban bekas didalam kamarmu agar kau kehabisan oksigen dan mati bersama cinta yang kau sesali. Tapi itu tidak akan kulakukan, aku masih waras, aku hanya bisa mendoakan semoga jalan yang kau pilih dengan melapangkan hatimu cepat selesai, hingga nanti kita akan kutemani kau mencari matahari yang bisa dengan hangat menguapkan genangan itu. Aku tidak akan mencarikannya untukmu, karena aku tidak bisa memaksakan caraku, aku hanya akan menemani kemana kau akan beranjak pergi. Semoga kau cepat memahami. Hampir dua tahun lebih berlalu, kami sampai pada masa harus disibukan dengan "tugas akhir", temanku memutuskan untuk cuti dari kegiatan akademik kampus, dan memutuskan untuk ikut kelas pilihan yang berbeda jauh dari jurusan kami.

Tidak biasanya, dia pulang dengan sebuah senyuman yang dua tahun hilang, antusiasnya untuk berbincang dan bercanda kembali menggelora, bahkan hal-hal tidak penting kembali dia komentari. Aku bersyukur kau sudah kembali pada kepribadianmu yang ceria, humoris, kadang bisa menjadi sangat tempramen. Aku tidak mau bertanya yang bisa menjadikannya kembali murung, aku coba ikuti ritmemu kembali, aku bahagia sekaligus bangga, akhirnya kamu bisa melewati masa uji coba kelayakan hidup yang tuhan berikan, selamat, kamu sudah naik kelas.

Hari ini kau bercerita bahwa sedang jatuh cinta, pada sosok wanita yang dikenal dikelas barunya, pada seorang wanita yang mempunyai senyum manis dan wajah yang meneduhkan perasaan. Wanita yang menurutmu bisa mematahkan argumen hanya dengan tatapan,wanita yang selalu kau coba untuk mendapatkan perhatiannya. Walau kau hanya menyimpan semua itu dalam diam dan tanpa mengungkapkan, aku sepertinya paham mengapa diam menjadi caramu unruk mencintai. Aku bisa membayangkan betapa meneduhkannya, betapa manis senyumnya, betapa hebat wanita itu yang bisa membuatmu kembali hidup dan pada kehidupan, semoga dia adalah gadis yang bisa selamanya menjadi penghangat bagimu, yang bisa mendukungmu pada kebahagiaan yang kekal dan abadi. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun