Tentunya kita mengenal kisah Nabi Nuh dan kisah banjir besar, yang bahteranya yang menjadi rumah bagi banyak hewan yang kini menghuni seluruh dunia beserta kita, seluruh keturunan manusia darinya.
Maha Pencipta menaruh busur-Nya di awan, sebagai simbol sebuah janji yang takkan membinasakan kehidupan lagi setelah banjir bandang yang terjadi.
Pelangi, demikian kita sebut namanya. Dan sampai kini, selepas hujan terkadang masih kita lihat kemunculannya, walau sekarang jarang terlihat di langit ibukota yang kelabu karena polusi.
Keindahan 7 warna yang bila berpadu bisa menghasilkan warna putih, menjadi inspirasi banyak orang untuk menuliskannya dalam novel, melukiskan, membuat animasi dan puisi hingga film. Dari My Little Pony dan tokoh Rainbow Dash hingga Laskar Pelangi. Bahkan bisa menjadi lezat dan enak dimakan sebagai rainbow cake dan eskrim aneka warna.
Anak-anak menyukainya, remaja dan orang dewasa juga suka pada 7 warna yang memang indah bila dipadukan bersama.
Sayangnya, entah sejak kapan tepatnya, keindahan pelangi menjadi ambigu sejak dijadikan simbol KEBEBASAN oleh beberapa kalangan, di sini saya netral, jadi tidak ingin menyudutkan pilihan hidup seseorang atau berbagai golongan.
Kekinian, terus terang saja, saya ragu bila ingin mengenakan outfit warna pelangi. Atau menghias kamar dan sebagainya. Bahkan mendesain dalam warna pelangi pun, saya jadi ragu. Bukan karena pelangi terlalu ramai. Namun makna di baliknya kini itu lho.
Ambiguitas dan blunder menjadikan kita rancu untuk menggunakannya semenjak mereka, kaum LGBT mempergunakannya sebagai simbol kebebasan dan keberagaman.
Saya tidak menentang LGBT, tapi juga tidak membela. Suka-suka Anda dan saya sendiri selama saling tidak merugikan dan mengganggu satu sama lain.
Namun, apa daya dan apa salah Sang Pelangi yang tetap setia muncul selepas hujan, walaupun jarang, dengan segala makna luhurnya, yang kini jadi sungguh sangat blunder.