Mohon tunggu...
Ra'ufina
Ra'ufina Mohon Tunggu... -

A woman with value

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Darah Perempuan dan Masa Depan Bangsa

12 Juni 2016   01:27 Diperbarui: 12 Juni 2016   07:27 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 
"Rau, operan pasien ya."

Salah satu rekan kerja dari ruang bersalin menghampiri saya pagi itu. Mbak Tya namanya. Tangannya memegang satu map penuh berisi data pasien. Diletakkannya map itu terbuka di atas meja saya, kemudian mengeja, "Pasien 2 jam post partum, Ny. A, 18 tahun, dengan..."

"He? 18 tahun? Lagi?" Saya reflek memotong kalimat Mbak Tya. Kemudian nyengir, "Hehe, maaf, Mbak. Monggo dilanjut operannya."

***

Dalam seminggu ini, sudah ada belasan pasien persalinan yang kisaran usianya di bawah dua puluh. Kebanyakan dari mereka memang baru pertama kali melahirkan, tapi tidak sedikit pula yang sudah melahirkan anak kedua, bahkan ketiga. Beberapa hari yang lalu, misalnya, datang pasien sembilan belas tahun hendak melahirkan anak kedua, dengan satu kali riwayat keguguran. 

Artinya, dia sudah tiga kali hamil--dalam usia sebelia dan seunyu itu. Ketika saya telusuri datanya, ternyata dia menikah pada usia enam belas tahun. Usia di mana saya masih asik nongkrong di bangku kantin sambil ngerumpiin kakak kelas yang wajahnya seimut Bondan Prakoso.

Adalah pasal 7 ayat 1 UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, yang berbunyi: "Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun." Yang kemudian menjadi dasar diperbolehkannya pernikahan usia belia di masyarakat.

Saya yakin, ada banyak pertimbangan mengapa pemerintah masih saja mempertahankan kebijakan yang sudah melewati masa 40 tahun itu. Saya juga yakin selalu ada alasan dibalik sikap pemerintah yang keukeuh memegang aturan bahwa remaja perempuan yang belum genap tujuh belas tahun dan merasakan bahagianya punya E-KTP itu sudah boleh dinikahkan. Seperti, misalnya, MK yang menolak menaikkannya menjadi delapan belas dengan alasan kebijakan tersebut dianggap tidak menjamin turunnya angka perceraian, permasalahan kesehatan, maupun sosial. 

Ya, selalu ada alasan dan pertimbangan tertentu--sekalipun itu wagu. Mungkin MK menunggu datangnya tahun di mana Angka Kematian Ibu (AKI) menembus digit 1000 per 100.000 kelahiran hidup, dan lebih dari 50 persennya masuk ke dalam klasifikasi usia di bawah dua puluh, atau Angka Kematian Bayi (AKB) mencapai 500 per 1.000 kelahiran hidup, baru kemudian MK akan menyadari bahwa usia calon ibu ikut berpengaruh terhadap kesehatan ibu dan anak. (Astaghfirullah, astaghfirullah.)

Berlandaskan teori kebidanan dan kedokteran kandungan, usia yang baik untuk bereproduksi adalah antara 20-35 tahun. Pada usia dua puluh, perempuan dianggap siap bereproduksi bukan semata karena semua organnya telah matang untuk dibuahi, tetapi juga mempertimbangkan kedewasaan mental. Lho, kedewasaan kan tidak mesti diukur berdasarkan umur, Bu Rau? Ya itu kan alibimu saja biar bisa pacaran sama om-om. 

Maaf, maksud saya, dewasa yang bagaimana dulu? Usia memang tidak bisa menjadi faktor yang berdiri sendiri untuk menentukan kedewasaan seseorang, tapi kestabilan emosi, kematangan pikir, dan cara dia mengambil sikap secara bijak terhadap permasalahan yang timbul, memiliki tahap. Dan tahapan-tahapan itu bisa diklasifikasikan dalam satuan waktu. Mbok pikir, kenapa pembuatan SIM (A, C, dan D) harus dibatasi, hanya diperbolehkan bagi mereka yang sudah berada di atas garis tujuh belas?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun