Mohon tunggu...
Ramdhan solehudin
Ramdhan solehudin Mohon Tunggu... Hoteliers - Aku nganggur maka aku nulis

Berbagi isi kepala

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bahasa Daerah di Ambang Kepunahan

15 Februari 2022   11:50 Diperbarui: 15 Februari 2022   11:54 796
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Ketika saya bekerja di Negeri seberang, banyak sekali teman yang berasal dari bermacam negara menanyakan apa bahasa ibu saya. Maka saya jawab Bahasa Sunda.

“What is your mother tongue?” Seorang teman bertanya demikian.  Saya idak bisa menjawabnya dengan pasti.  Sebab saya pun merasa kesulitan untuk menjawabnya.

“I don’t know exactly what is my mother tongue, if you asked me what languange is mostly spoken  in my country, I could answer it.

Saya merasa kebingungan dengan kata Bahasa Ibu.  Karena kata itu mempunyai multi tafsir.  Jika yang dimaksud Bahasa Ibu adalah bahasa yang Ibu (yang melahirkan) saya, maka jawaban tadi sudah benar.  Tetapi jika Bahasa Ibu yang dimaksud adalah bahasa yang pertama kali dipelajari saat masih dalam buaian, maka mungkin saja jawaban saya tadi salah.  Sebab saya tidak pernah tahu betul bahasa mana yang saya bisa kuasai dan orang tua saya ajarkan kepada saya sewaktu kecil.  Bahasa Sunda atau Bahasa Indonesia.  Sejauh yang saya ingat, kedua bahasa itu saya terima secara bersamaan.

Salah satu kekayaan bangsa adalah budayanya.  Sudah barang tentu Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau dan bermacam ragam suku memiliki budaya yang luar biasa melimpah.  Salah satu komponen dalam budaya adalah bahasa.  Tercatat ada 718 bahasa yang berada di Indonesia.

Di India misalnya, tidak semua masyrakat India bisa berbicara bahasa Hindi.  Padahal Bahasa Hindi adalah bahasa resmi di negara tersebut.  Hal itu disebabkan oleh sikap etnosentris, fanatisme, sikap kesukuan yang memandang sukunya lebih tinggi derajatnya dari suku lain.  Mereka masih saling mempertentangkan mengapa bahasa Hindi yang menjadi Bahasa nasionalnya, mengapa tidak Tamil atau bahasa lainya.  Walaupun bahasa inggris juga dipakai sebagai bahasa alternatif, tetapi tidak semua orang bisa menggunankanya dengan kaidah-kaidah yang benar.  Hal ini sudah barang tentu menjadi salah satu masalah jika kita berbicara tentang nasionalisme.

Berbeda dengan di negara kita.  Walaupun Bahasa Indonesia yang menjadi bahasa persatuan di Indonesia berakar Pada Bahasa Melayu, dan Bahasa Melayu pun berakar pada Bahasa lain jika kita ingin mengurucutkanya.  Kita mesti bersyukur memiliki bahasa persatuan ini tanpa ada sikap etnosentris dari satu kelompok mana pun.  Para pendiri bangsa ini telah sepakat untuk menjungjung Bahasa Persatuan, yaitu Bahasa indonesia.  Dan hampir dipastikan semua warga Negara Indonesia bisa menggunakannya.  Kecuali sebagian suku daerah ataupun orang-orang sepuh di suau wilayah yang memang tidak banyak berinteraksi dengan masyarakat diluar wilayahnya.

Walaupun demikian, kita mengalami masalah yang tidak begitu ringan.  Yaitu, sebagian bahasa daerah mengalami kehawatiran yang sangat menyedihkan. Sembilan dari daerah Maluku sudah dinyatakan punah, dan dua lagi bahasa yang berasal dari tanah Papua.  Malah menurut LIPI, dari tujuh ratusan lebih bahasa daerah di Indonesia, hanya 10% saja yang mampu bertahan.  Sedih bukan?.  Memang Banyak faktor yang mempengaruhi hal tersebut. Masuknya aneka media digital, Berkurangnya penutur asli yang disebabkan bencana atau Perang antar suku dimasa dahulu, perkawinan antar suku yang sudah lazim di zaman sekarang, ataupun rasa gengsi kaum muda untuk menggunakan bahasa daerah. Atau seorang akan dianggap kampungan jika berbahsa Indonesia dengan dialek kesukuannya. Tapi menurut pandangan yang saya lihat, selain faktor-faktor diatas, adalah Nasionalisasi yang tidak diimbangan dengan kecintaan pada  nilai-nilai kebudayaan.  Oleh karena itu bahasa daerah harus disetarakan dengan bahasa Indonesia.  Ambil saja proses kegiatan belajar mengajar di sekolah, baik dari sekolah dasar, bahkan lebih rendah sampai menengah atas saja, sudah hampir dipastikan 90% menggunakan bahasa Indonesia.  Walaupun di daerah saya ada satu hari, yakni hari Rabu (Rebo Nyunda) semua intansi pemerintahan diwajibkan untuk berbicara dan memperkenalkan apapun yang bersangkutan dengan nilai-nilai budaya, akan tetapi bahasa daerah sudah kehilangan marwahnya.  Jarang sekali yang benar-benar berbicara bahasa daerah tanpa dicampuri dengan bahasa selainya.

DR . Hurip mengusulkan agar dibuatkannya kamus berbahasa daerah.  Menurut saya usulan ini sangat bagus.  Pemerintah harus bisa kembali menyeimbangkan kecintaan terhadap kebudayaan.  Salah satunya Bahasa daerah.  Nasionalisasi bahasa yang sudah dimulai sejak 1928 lewat Sumpah Pemuda telah berhasil menyatukan rasa nasionalisme.  Walapun ada sedikit perbedaan struktur kalimat prase dan kalimat yang sedikit berbeda antara Bahasa Indonesia yang digunakan di pulau Jawa dan Sulawesi tapi itu bukan permasalahan yang cukup serius.  Karena masih bisa saling memahami.  Yang mesti diperhatikan adalah bagaimana Bahasa daerah itu meresap Kembali kepada para pemiliknya menjadi sebuah kebanggaan.  Sehingga generasi muda tidak lagi menganggap bahwa bahasa daerah lebih rendah dari bahasa nasional. 

Sudah barang tentu program hari berbahasa daerah sehari dalam seminggu pada program kegiatan belajar mengajar tidaklah cukup untuk menyeimbangkan dengan bahasa nasional yang sudah jauh berada di depan.  Belum lagi dengan kecintaan generasi muda saat ini pada kebudayaan asing.

Sudah berapa kali saya berkeliling, masuk daerah pedesaan pada hari jum’at.  Dan miris sekali, para pengkhutbah jum’ah dari pedesaan lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia, dibanding dengan bahasa daerah.  Saya tidak bisa memandangnya negatif secara begitu saja.  mungkin Ia menghargai orang-orang pendatang yang bukan dari suku tersebut.  Tetapi orang asing mana yang mau hijrah ke pedalaman, ditambah desa-desa yang saya singgahi adalah desa di ujung aspal yang sudah dipastikan tidak ada musyafir yang kebenaran melewati desa tersebut. Atau mungkin sulitnya untuk para pengkutbah menemukan buku khutbah yang berbahasa daerah edisi terbaru.  Itu bisa saja terjasi, pasalnya kebanyakan khotib selalu membaca buku khutbah saat menjalankan tugasnya.  Itu terbukti, ketika saya mengunjungi suatu perpustakaan umum di wilayah saya, sedikit sekali kita menemukan buku yang berbahasa daerah yang menarik.  Semuanya keluaran kolot, tidak menarik untuk dibaca oleh kalangan muda.  Maka dari itu, pemerintah harus berupaya meningkatkan dan menginovasi buku bacaan-bacaan digital berbahasa daerah.  Mulai dari komik untuk anak-anak yang tidak hanya berisi tentang legenda.  Juga sedikit sekali musisi muda yang mengangkat bahasa daerah pada karyanya.  Pupuh-pupuh sudah tidak mampu bersaing dengan lagu zaman sekarang.  Memang itu bisa didasari pada pasar industri musik.  Tugas pemerintah bagaimana pasar industri musik atau kebudayaan bisa bersaing dan menarik minat kaum muda untuk menggelutinya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun