Mohon tunggu...
Ramdan Hamdani
Ramdan Hamdani Mohon Tunggu... Guru, Penulis -

Nama Lengkap : Ramdan Hamdani, S.Pd\r\nPekerjaan : Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Masalah Sosial,\r\nBlog : www.lenteraguru.com\r\nNo Kontak : 085220551655

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

(Lain Rek) Nyalindung ka Gelung

21 Oktober 2017   08:30 Diperbarui: 21 Oktober 2017   10:12 1420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mempertahankan keutuhan rumah tangga nyatanya jauh lebih sulit daripada membangun gedung pencakar langit yang terdiri ratusan lantai sekalipun. Berbagai ujian dan cobaan seakan datang silih berganti untuk menguji sejauh mana kekuatan tekad setiap pasangan dalam menunaikan "janji suci" yang pernah mereka ucapkan. Mulai dari persoalan ekonomi keluarga, masalah dengan mertua, sampai dengan kehadiran pihak ketiga tak jarang mengiringi setiap langkah mereka dalam membangun mahligai rumah tangga hingga akhir hayat. Banyak pasangan sukses mempertahankan cinta sucinya hingga usia senja. Namun, tidak sedikit pula yang terpaksa bubar di tengah jalan sekalipun usia perkawinan mereka baru seumur jagung.

Hal ini pulalah yang dialami oleh sebagian keluarga di kabupaten Subang dimana penulis saat ini tinggal. Berdasarkan laporan dari Pengadilan Agama Kabupaten Subang, antara Januari -- Maret 2017 tercatat sedikitnya 900 pasangan yang memutuskan untuk mengakhiri perkawinannya. Gugatan cerai tersebut sebagian besar datang dari pihak perempuan dan disebabkan oleh persoalan ekonomi keluarga. Ironisnya, tingginya angka perceraian tersebut justru terjadi di wilayah-wilayah dimana indutsri dan perdagangan tengah berkembang dengan pesatnya. Daerah Pantura, Subang Kota dan Kalijati merupakan wilayah yang dikenal dengan angka perceraian cukup tinggi dibandingkan dengan wilayah-wilayah lainnya di kabupaten Subang.

Penasaran dengan fenomena banyaknya "tulang rusuk" yang beralih peran sebagai tulang punggung, penulis pun memberanikan diri untuk mencari informasi secara utuh tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi. Penulis mendatangi rumah salah seorang janda muda yang kebetulan kenal baik sejak lama. Yani (sebut saja nama perempuan tersebut) menuturkan bahwa dirinya terpaksa menggugat cerai suaminya karena sudah lelah dengan tabiatnya yang tidak mau bekerja keras untuk menghidupi keluarga. Selama satu setengah tahun hidup bersama, Yani berperan sebagai tulang punggung keluarga dengan bekerja menjadi buruh pabrik yang tak letaknya tak jauh dari rumahnya. Sementara suaminya hanya menghabiskan waktu dengan kegiatan-kegiatan yang tidak bermanfaat selama Yani bekerja. Ngadu hayam, nguseupdan ulin teu paruguh merupakan aktivitas yang sehari-hai dilakoni oleh sang suami.

Tak puas dengan jawaban yang diberikan oleh Yani, penulis pun mencoba menggali informasi lainnya untuk mendapatkan data yang benar-benar akurat. Penulis kemudian berbincang dengan salah seorang duda kembang yang baru sebulan lalu resmi bercerai dengan istrinya karena persoalan ekonomi. Asep (sebut saja nama duda tersebut) menuturkan bahwa perceraian tersebut terjadi akibat dirinya tidak memiliki pekerjaan tetap sehingga istrinya tak mau lagi tinggal bersamanya. Asep yang berprofesi sebagai sopir tembak itu memang mengakui bahwa dirinya belum mampu menafkahi keluarganya secara layak. Namun, bukan berarti ia tidak pernah berusaha seperti yang disangkakan oleh sang istri. Lamaran pekerjaan berkali-kali ia kirimkan ke beberapa perusahaan besar di kabupaten Subang. Namun, sebagian perusahaan atau pabrik tersebut lebih memilih karyawan perempuan dibandingkan pegawai laki-laki. Hal ini dimungkinkan karena perempuan tidak terlalu banyak menuntut saat diterima sebagai karyawan.

Dari kisah yang dijelaskan oleh Yani dan Asep, penulis menyimpulkan bahwa sikap nyalindung ka gelung seperti yang dituduhkan selama ini kepada kaum pria tidak seluruhnya benar. Penulis sepakat bahwa sebagai kepala keluarga, seorang suami harus siap bekerja keras dan memutar otak agar mampu mengihidupi diri dan keluarganya secara layak. Namun, hal ini akan sulit diwujudkan apabila tidak didukung oleh kebijakan maupun sistem yang benar -- benar mampu memberikan kesempatan kepada kaum pria untuk berperan sebagai kepala keluarga sebagaimana mestinya.

Adapun sikap mengutamakan keuntungan sebesar-besarnya seperti yang ditunjukkan oleh sebagian besar perusahaan di tanah air dipastikan akan menjadi bom waktu yang siap meledak setiap saat. Berbagai masalah sosial maupun kriminalitas dikhawatirkan akan semakin merebak seiring meningkatnya jumlah wanita yang sibuk di luar rumah. Selain itu proses pendidikan anak pun akan menjadi terganggu akibat "ketidakhadiran" sosok ibu selama proses tumbuh kembang karakter anak. Anak yang kurang mendapatkan perhatian cukup dari orangtua biasanya akan mengalami hambatan-hambatan dalam mengikuti kegiatan pembelajaran maupun saat berinteraksi dengan sesama.

Berdasarkan uraian di atas, sudah saatnya pemerintah mengeluarkan kebijakan yang mampu menempatkan suami dan istri sesuai dengan kodratnya. Dalam hal ini membuat regulasi yang mampu mendorong setiap perusahaan untuk menerima tenaga kerja pria lebih banyak daripada wanita dapat dilakukan guna mencegah berkembangnya fenomena "tulang rusuk" yang beralih peran sebagai tulang punggung. Selain itu pemerintah pun hendaknya bersikap tegas terhadap perusahaan-perusahaan yang terbukti melanggar ketentuan terkait upah maupun jaminan sosial yang diberikan kepada para pegawainya.

Adapun bagi para pemuda yang berniat melangsungkan pernikahan, kesiapan secara ekonomi hendaknya benar-benar menjadi salah satu pertimbangan utama. Wanita yang akan mereka jadikan istri sudah selayaknya dimuliakan dengan cara memenuhi berbagai kebutuhannya. Tempat istri adalah rumah dan kewajiban mereka adalah mengurus anak serta membantu suami dalam menyiapkan keperluan yang berkaitan dengan pekerjaannya. Dengan begitu, ketahanan keluarga pun akan benar-benar terwujud dan berimplikasi pada tercapainya ketahanan bangsa. (Dimuat di Koran Pasundan Ekspres Edisi 21 Oktober 2017)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun