Mohon tunggu...
Rama Yanti
Rama Yanti Mohon Tunggu... Human Resources - Profesional dan penulis

Perduli terhadap kemanusiaan. Selalu ingin berbuat baik

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pembohong Tidak Gampang Mengembalikan Kepercayaan

5 Oktober 2018   10:19 Diperbarui: 5 Oktober 2018   10:27 665
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Tolong... tolong... tolong...ada macan...," teriak seorang bocah laki-laki, sambil berlari ke dalam kampung dari arah pinggir hutan.

Sontak, seluruh penduduk kampung yang mendengar teriakan itu berhamburan keluar rumah, sambil membawa parang, tombak, atau apapun yang bisa mereka raih.

"Mana macannya...mana macannya!?" Seru seorang penduduk kampung lalu mencari macan itu ke segala arah. Tidak ketemu.

Lalu mereka memanggil si bocah yang tadi berteriak dan menanyakan, "Tadi dimana macannya?" 

Si bocah terdiam sejenak. Lalu menggeleng dan berkata, "Macannya tidak ada. Maaf saya berbohong."

Beberapa hari kemudian, si bocah berteriak keras bahkan sambil merintih, bahwa dia diterkam macan. Orang-orang yang mendengarnya terdiam saja. Mereka berpikir si bocah berbohong lagi. Padahal memang benar digigit macan sungguhan, bukan bohong. Bocah itu meninggal karena tidak ada yang menolongnya.

Itu sepenggal cerita rakyat dari sebuah buku yang saya baca di perpustakaan sekolah saat masih SD, sekitar tahun 1990. Saya lupa judulnya.

Pesan yang disampaikan dalam kisah itu adalah, janganlah berbohong karena akan sangat merugikan. Baik untuk diri sendiri maupun orang lain.

Bohong adalah memutarbalikkan fakta. Dalam  psikologi manusia diketahui bahwa kebohongan bisa dilakukan oleh satu orang, dua orang atau sekelompok orang untuk tujuan tertentu. Pada dasarnya semua orang bisa berbohong, tapi tidak semua orang mau berbohong. Dan tidak semua orang memiliki keterampilan berbohong. 

Dalam psikologi terapan, muncul ilmu baru yang bernama diteksi kebohongan. Sekarang diteksi kebohongan menjadi sebuah alat yang biasa digunakan oleh kepolisian, untuk mengungkapkan sebuah kasus.

Berbicara masalah kebohongan, kaitannya bisa sangat luas dan bisa melebar kemana-mana. Saya ingin mempersempit, sebatas dampak dari sebuah kebohongan.

Di dalam masyarakat umum dikenal dua jenis bohong yaitu bohong besar dan bohong kecil. Bohong kecil adalah bohong yang bertujuan untuk main-main. Sedangkan bohong besar adalah penipuan, dan berdampak pada merugikan orang lain. Pelakunya biasa disebut sebagai pembohong. Di dalam psikologi dikenal dengan istilah bohong sempurna dan bohong tidak sempurna.

Kebohongan sempurna, biasanya dilakukan dengan cara sistematis dan terencana. Misalnya, seseorang ingin mendapatkan simpati dari orang lain lalu dia me-makeup wajahnya menjadi babak belur seperti habis dipukuli orang. Bahkan agar bisa terlihat lebih sempurna dia datangi klinik kecantikan untuk mempermak wajahnya.

Hal serupa baru saja terjadi dan sangat menimbulkan kegaduhan, karena ditarik ke ranah politik. Seperti kita ketahui Ratna Sarumpaet adalah salah satu orang yang berada dalam barisan Prabowo-Sandiaga untuk perhelatan pilpres 2019. Dia kerap di tolak oleh masyarakat di beberapa daerah ketika ingin melakukan sebuah kegiatan. Beberapa orang menyebut penolakan itu sebagai 'penganiayaan politis'.

Belakangan tersebar berita bahwa dia mengalami panganiayaan fisik. Sejumlah orang di kelompoknya, bahkan sampai ke elite tertingginya mengumumkan peristiwa itu. Diliput secara luas oleh media massa. Belum lagi gegap gempita di media sosial yang bahkan mencurigai  dilakukan oleh lawan politiknya.

Kecanggihan teknologi kemudian menemukan fakta sesungguhnya. Pihak kepolisian bekerjasama dengan perusahaan selular memperoleh data posisi Ratna Sarumpaet saat peristiwa itu terjadi dan menemukan data transaksi bank untuk sebuah klinik. Terlebih lagi seorang dokter bedah plastik  bernama dr Tompi mengetahui klinik yang ada di dalam foto babak belur Ratna Sarumpaet. Dan semuanya terbongkar.

Babak belur itu kemudian diakui sebagai kebohongan. Semua pihak yang tadinya mendukung, bersimpati dan berempati, berbalik meluruskan dan meminta maaf.

Meminta maaf seperti bocah bohong yang dikejar macan itu. Kemudian, bisa jadi ada yang berpikir bahwa minta maaf Ratna Sarumpaet, sejumlah elite bahkan Prabowo, sebagai bagian dari skenario besar untuk mendulang  simpati masyarakat.

Siapa yang akan percaya bila kemudian mengatakan yang sebenarnya? 

Artinya orang atau pihak yang tenggelam dalam reruntuhan kebohongannya sendiri, sangat sulit membangun kepercayaan walaupun dia mengatakan yang sesungguhnya. Apalagi sekadar dinarasikan dalam sebuah janji kampanye politik. Siapa yang percaya?

Oleh Ramayanti Alfian Rusid S.Psy, MM.Kom

*Penulis adalah pengamat sosial politik dan parapsikologi. Tinggal di Jakarta

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun