Di dalam masyarakat umum dikenal dua jenis bohong yaitu bohong besar dan bohong kecil. Bohong kecil adalah bohong yang bertujuan untuk main-main. Sedangkan bohong besar adalah penipuan, dan berdampak pada merugikan orang lain. Pelakunya biasa disebut sebagai pembohong. Di dalam psikologi dikenal dengan istilah bohong sempurna dan bohong tidak sempurna.
Kebohongan sempurna, biasanya dilakukan dengan cara sistematis dan terencana. Misalnya, seseorang ingin mendapatkan simpati dari orang lain lalu dia me-makeup wajahnya menjadi babak belur seperti habis dipukuli orang. Bahkan agar bisa terlihat lebih sempurna dia datangi klinik kecantikan untuk mempermak wajahnya.
Hal serupa baru saja terjadi dan sangat menimbulkan kegaduhan, karena ditarik ke ranah politik. Seperti kita ketahui Ratna Sarumpaet adalah salah satu orang yang berada dalam barisan Prabowo-Sandiaga untuk perhelatan pilpres 2019. Dia kerap di tolak oleh masyarakat di beberapa daerah ketika ingin melakukan sebuah kegiatan. Beberapa orang menyebut penolakan itu sebagai 'penganiayaan politis'.
Belakangan tersebar berita bahwa dia mengalami panganiayaan fisik. Sejumlah orang di kelompoknya, bahkan sampai ke elite tertingginya mengumumkan peristiwa itu. Diliput secara luas oleh media massa. Belum lagi gegap gempita di media sosial yang bahkan mencurigai  dilakukan oleh lawan politiknya.
Kecanggihan teknologi kemudian menemukan fakta sesungguhnya. Pihak kepolisian bekerjasama dengan perusahaan selular memperoleh data posisi Ratna Sarumpaet saat peristiwa itu terjadi dan menemukan data transaksi bank untuk sebuah klinik. Terlebih lagi seorang dokter bedah plastik  bernama dr Tompi mengetahui klinik yang ada di dalam foto babak belur Ratna Sarumpaet. Dan semuanya terbongkar.
Babak belur itu kemudian diakui sebagai kebohongan. Semua pihak yang tadinya mendukung, bersimpati dan berempati, berbalik meluruskan dan meminta maaf.
Meminta maaf seperti bocah bohong yang dikejar macan itu. Kemudian, bisa jadi ada yang berpikir bahwa minta maaf Ratna Sarumpaet, sejumlah elite bahkan Prabowo, sebagai bagian dari skenario besar untuk mendulang  simpati masyarakat.
Siapa yang akan percaya bila kemudian mengatakan yang sebenarnya?Â
Artinya orang atau pihak yang tenggelam dalam reruntuhan kebohongannya sendiri, sangat sulit membangun kepercayaan walaupun dia mengatakan yang sesungguhnya. Apalagi sekadar dinarasikan dalam sebuah janji kampanye politik. Siapa yang percaya?
Oleh Ramayanti Alfian Rusid S.Psy, MM.Kom
*Penulis adalah pengamat sosial politik dan parapsikologi. Tinggal di Jakarta