Pertemuanku dengannya tanpa disengaja. Jika bisa memilih, lebih baik aku tak pernah bertemu dengannya. Paling tidak, tak akan kubiarkan diriku masuk ke dalam kehidupannya.
Bertemu disaat sedih, terpisah pun dengan tangisan. Bertemu tanpa kata, terpisah pun tanpa pesan.
Beberapa bulan diakhir tahun 2004, awal pertemuanku dengannya. Tanpa sepatah kata. Hanya senyuman yang terlihat saat berpapasan dengannya. Selain senyumannya, tak banyak hal yang ku ketahui tentangnya. Itu saja yang ku ketahui, dirinya tak banyak bicara.
Perkenalan itu terus berlanjut. Banyak hal yang terjadi. Hingga perkenalan itu berubah menjadi sebuah perasaan yang mengantarkanku bersamanya ke jenjang pernikahan. Proses demi proses aku lalui bersamanya. Tak mudah, tapi itulah bentuk perjuanganku dengannya menuju pernikahan.
Banyak pertentangan, ketidak-sukaan, tangisan, canda tawa, bahkan perselisihan antar keluarga tentang keyakinan. Dan pada akhirnya ku putuskan untuk ikut bersamanya, satu keyakinan dengannya. Tak menjadi penghalang buatku. Dan keputusanku ini benar adanya.
Tanggal pernikahan sudah ditetapkan. Keluarga dari ibuku semuanya mendukungku. Tapi, tidak bagi keluarga ayahku. Mereka menolaknya, bahkan sampai ada yang menghinanya. Namun, niat dan keputusanku sudah bulat, dia adalah jodohku.
Tanggal 1 Oktober 2006, aku pun di inisiasi secara resmi masuk dan berpindah keyakinan. Memiliki keyakinan yang sama dengan dirinya. Keyakinan yang hingga saat ini masih ku pegang. Dengan segala konsekuensinya. Tapi ku bahagia dengan keyakinanku sekarang.
Ada kisah lain dibalik persiapan perkawinan kami. Banyak yang tidak percaya, tapi itulah kenyataan yang terjadi. Biaya perkawinanku sebesar lima ratus ribu rupiah, hasil pinjaman. Â Hingga peristiwa kematian pamanku, adik ibuku, tiga hari sebelum acara puncak.
"Kita tunda saja acara ini. Kamu masih berduka," menatapku sambil memegang kedua tanganku.
"Tidak bisa, ini sudah dibicarakan. Dan semua setuju, kita tetap nikah, " usahaku meyakinkan dirinya.
"Tapi ini beda, kita tidak harus memaksakan. Masih bisa ditunda, paling tidak usai peringatan empat puluh hari." Pintanya padaku. Aku tahu bagaimana perasaannya. Sedih pastinya.