Mohon tunggu...
R Hady Syahputra Tambunan
R Hady Syahputra Tambunan Mohon Tunggu... Sales - Karyawan Swasta

Pemerhati Politik Sosial Budaya. Pengikut Gerakan Akal Sehat. GOPAY/WA: 081271510000 Ex.relawan BaraJP / KAWAL PEMILU / JASMEV

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Penghapusan Pelajaran Agama di Sekolah, Ide Kebhinekaan atau Sekularisme?

6 Juli 2019   04:41 Diperbarui: 6 Juli 2019   04:47 6014
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: tangkap layar jpnn

#WacanaPenghapusanPendidikanAgamaDiSekolah #IdeHapusPendidikanFormalAgama #SDdarmonoMintaPendidikanAgamaDihapuskan #PenghapusanPelajaranAgamaDiSekolah

Beredar luas perdebatan seputar isu dan gagasan "Penghapusan Pelajaran Agama Di Sekolah. Tak pelak ini menguras energi publik. Apalagi bila dibahas oleh mereka yang tidak menganalisa dengan benar perihal kabar tersebut.

Adalah seorang Setyono Djuandi Darmono (SD Darmono) yang kembali mempopulerkan gagasan tak lazim ini. Pria kelahiran Yogyakarta, 26 April 1949 ini adalah pengusaha yang merupakan pendiri sekaligus Chairman Jababeka Group. Group ini sukses sebagai pengembang kawasan perkotaan dan industri baru. Darmono selain sukses dalam bisnis, diketahui memiliki pengaruh kuat dan dikenal dekat dengan tokoh politik juga orang penting di Indonesia.

Selain itu, Darmono dikenal sebagai tokoh kebudayaan Indonesia. Pada 1989 disaat gencarnya pembangunan kota terintegrasi "Jababeka", Darmono adalah tokoh kunci yang memimpin dan menggagas program-program wisata dan pelestarian. Pelestarian situs Warisan Dunia UNESCO yaitu Candi Borobudur, Candi Prambanan dan Istana Ratu Boko, serta revitalisasi Kota Tua Jakarta tidak terlepas dari jasa dan sentuhan tangan dingin Darmono.

Mari kita analisa, darimana 'bola panas' ini berasal. Kapan tercetus dan mengapa jadi seksi untuk dibahas?. Cekidot..

Foto: tangkap layar tribune
Foto: tangkap layar tribune
BERAWAL 2017, NAMUN LANGSUNG "DIHAJAR"

Sebenarnya 2017 lalu, telah heboh perihal kabar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyatakan "akan meniadakan pelajaran agama di kelas". Tribunnews mengangkat tema ini di kolomnya. (http://m.tribunnews.com/amp/nasional/2017/06/14/kemendikbud-bakal-hapus-pelajaran-agama-di-kelas-ini-pro-dan-kontranya)

Kemendikbud berencana meniadakan pelajaran agama formal didalam kelas dan akan   menggantinya dengan pendidikan (agama) di madrasah diniyah, masjid, pura, atau gereja.

Kemdikbud beralibi, rencana itu terkait pemberlakukan waktu kegiatan belajar lima hari sekolah.

"Sekolah lima hari tidak sepenuhnya berada di sekolah. Siswa hanya beberapa jam di dalam kelas dan sisanya di luar kelas," tukas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR di Jakarta, Selasa (13/6/2017).

Ide ini mendapat penolakan keras. Mayoritas Ormas Islam, MUI, Anggota DPR menanggapi dingin dan menyarankan agar Muhadjir mengurungkan niat tersebut.

Setelah ini apakah gagasan ini berhenti? Bila Muhadjir seakan menarik kembali rencana ini, maka akan ada "Muhadjir" lain yang mempunyai gagasan serupa tapi beda narasi.

Bila Muhadjir berencana meniadakan dan mengganti pendidikan Agama yang semula berada di kelas pelajaran dan dialihkan menjadi ekstra kurikuler tambahan alias  diluar kelas, maka kali ini ada ide lebih "ekstrim".

SD Darmono mengatakan bahwa: "pendidikan agama tidak perlu diajarkan di sekolah. Agama cukup diajarkan orangtua masing-masing atau lewat guru agama di ----luar sekolah-----".

2019, GAGASAN SERUPA KEMBALI NAIK PODIUM

"Mengapa agama sering menjadi alat politik? Karena agama dimasukkan dalam kurikulum pendidikan. Di sekolah, siswa dibedakan ketika menerima mata pelajaran (mapel) agama. Akhirnya mereka merasa kalau mereka itu berbeda," kata Darmono pada acara bedah bukunya yang ke-6 berjudul Bringing Civilizations Together di Jakarta, Kamis (4/7/2019).

Gagasan singkat, padat, jelas dari Darmono ini segera ditanggapi beragam. Pro dan kontra segera bersahutan. Biasanya di Medsos gagasan ini didukung oleh pendukungnya namun biasanya dengan memakai akun abal-abal. Di dunia nyata belum ada tokoh politik yang membela Darmono. Mungkin saja takut dicap 'anti agama'.

Dari pihak oposisi, Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (FPKS DPR RI), Jazuli Juwaini berpendapat ide ini bertentangan dengan dasar negara, Pancasila.

"Ini ide sekularisasi yang menjauhkan generasi bangsa dari nilai-nilai agama. Ide atau wacana ini bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, dan tujuan pendidikan nasional yang sangat menekankan nilai-nilai pendidikan agama di sekolah. Kami menolak tegas wacana ini," tegas Jazuli.

Bahkan pendukung Jokowi dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) nampak tidak sepakat ihwal ide tak populer tersebut.

Adalah Wakil Ketua Komisi X DPR, Reni Marlinawati yang berpendapat bahwa "pernyataan yang menganggap pendidikan agama sebagai pemicu adanya politisasi agama merupakan pernyataan yang keluar batas".

"Tudingan terhadap pendidikan agama sebagai pemicu adanya politisasi agama merupakan pernyataan yang offside, ahistoris dan tidak paham dengan sistem pendidikan nasional," ujar Reni di Gedung DPR RI pada Jumat (5/7/2019)

** ** **

Seperti biasa, setelah gaduh dan memicu kontroversi,  biasanya akan ada rilis yang seakan akan menampik kebenaran kabar yang kadung dicerna publik. Atau bisa jadi juga mengalihkan narasi awal yang memang tergelincir, lalu dialirkan ke "narasi baru" yang terkesan bijak.

Ardiyansyah Djafar dari Desk Komunikasi Jababeka, menyampaikan pernyataan secara tertulis, Jumat 5 Juli 2019.

"Beredar berita bahwa SD Darmono, menganjurkan Presiden Jokowi untuk mengeluarkan pelajaran agama dari sekolah. Kami tegaskan bahwa pendapat itu telah menimbulkan salah penafsiran. Untuk itu kami meluruskan," tulis Djafar.

Pertama, SD Darmono sangat peduli pada pendidikan karakter berbasis agama yang mempunyai akar kuat dan sudah mentradisi di Nusantara. Yang dia soroti dan prihatinkan adalah mengapa identitas agama ketika dikaitkan dengan politik malah mendorong munculnya konflik dan polarisasi sosial. Padahal semua agama mengajarkan persatuan dan akhlak mulia.

Kedua, Masuknya faham keagamaan yang ekstrim ke sekolah dan universitas mesti menjadi perhatian kita semua, karena hal ini merusak kesatuan dan harmoni sosial. Oleh karena itu, materi pembelajaran dan kualitas guru-gurunya perlu ditinjau ulang. Hendaknya pelajaran agama itu lebih menekankan character building dan kemajuan bangsa. Terlebih lagi Indonesia dikenal sebagai bangsa yang religius.

Ketiga, Jika pelajaran agama dalam aspek- aspeknya yang dianggap kurang, itu tanggungjawab setiap orangtua dan komunitas umat beragama, bisa dilengkapi di masjid, gereja atau vihara.

Keempat, Jadi, intinya bukan mengeluarkan pelajaran agama dari sekolah, tetapi sebuah koreksi dan renungan, apa yang salah dengan pendidikan agama kita di sekolah.

Terakhir, Buku Bringing Civilizations Together yang diluncurkan 4 Juli lalu penekanannya adalah pada pembentukan karakter demi kerukunan dan kemajuan bangsa. Pungkas Djafar.

** ** **

Kesimpulan dan harapan penulis:

Harap publik tidak bereaksi berlebihan atas gagasan mentah ini. Ini konsukuensi dari kebebasan berpendapat di dalam negara demokrasi.

Bisa jadi karena pendukung Jokowi berasal dari beragam entitas. Tidak hanya kalangan nasionalis dan jaringan NGO-Islam liberal, sekte minoritas keagamaaan dll, pendukung Jokowi juga berasal dari kelompok keagamaan.

Aswaja tradisional yang berafiliasi ke PKB, PPP melalui gerbong NU pasti punya pemikiran yang akan diperjuangkan dan dimenangkan. Sebut saja "hari santri", UU Pesantren, atau mungkin UU Islam Nusantara.

Setelah Jokowi berkuasa kembali, maka organ-organ pendukung Jokowi akan bertarung. Yang merasa berjasa lebih besar dan berdarah darah maka akan merasa berhak mendapat kue yang lebih besar. Tidak hanya jabatan politik, BUMN, juga posisi strategis lainnya yang diperebutkan. Idealisme masing-masing tentu ingin "dimenangkan".

Yang merasa Indonesia darurat "radikalisme, ISIS, Khilafah" maka akan memenangkan Islam Nusantara sebagai gagasan utama. Bila perlu menjadi pijakan kebijakan negara. Yang kurang berciri aswaja versi tertentu, maka siap-siap di hajar dengan narasi: "intoleran, garis keras, radikal".

Yang berpendapat "Indonesia kurang toleran" pada sekte keagamaan yang menyimpang dan membuat pemeluk agama utama marah, maka akan memperjuangkan Undang-undang, kebijakan yang melindungi kebebasan ber-aliran.

Yang nyaman tidak memeluk agama formal dan cukup pada keyakinan kepercayaan yang dipeluknya, bisajadi tidak cukup puas hanya "penghapusan kolom agama di KTP", "pencatatan nikah di akte sipil" dll.

Termasuk yang kurang nyaman segenap kehidupan diatur dalam norma-norma agama, maka tidak heran ia akan menyuarakan ide liberalisme yang dibungkus dengan cara perlahan-lahan.

Narasi "Agama menciptakan perbedaan dan membedakan dan potensi perpecahan". Sambil seakan-akan lupa bahwa Indonesia sudah dewasa pada perbedaan agama, bahasa, suku, adat istiadat selama ribuan tahun.

Maka..

Lihat saja dulu Jokowi dan jajaran akan condong kemana. Kritisi dan tetap berkepala dingin. Bila hanya wacana dan gagasan, kita cukup balas dengan wacana dan gagasan yang kita yakini.

Namun bila sudah berbau kebijakan dan arah negara, maka satukan elemen dan kelompok anda. Bertarunglah di DPR, jalanan, dan saluran lain yang sesuai konstitusi.

Hindari umpat, caci maki. Katanya demokrasi.?

** ** **

R.HADY SYAHPUTRA TAMBUNAN.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun