Mohon tunggu...
Djoko Nawolo
Djoko Nawolo Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang pemerhati sosial

Sekedar menyalurkan hobi berceloteh tentang segala hal

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Paradoks Democratic Policing

26 Juni 2019   14:15 Diperbarui: 27 Juni 2019   08:59 645
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Buku Democratic Policing karya Drs. H. M. Tito Karnavian, MA, PhD. Bersama peneliti LIPI Prof (Ris) H. Hermawan Sulistyo, MA, PhD, telah membawa diskursus publik yang menarik. Pihak-pihak yang merasa “terganggu” melihat konsep tersebut sebagai sebuah ancaman, sehingga kemudian sibuk untuk mencari celah kelemahannya dan mencoba melakukan ‘counter narrative’ untuk mendegradasinya. Bahkan dikalangan akademisi juga terdapat pro-kontra dalam menyikapi konsep tersebut, tergantung dari kepentingan dan keberpihakan masing-masing.

Ditengah polemik terkait konsep democratic policing tersebut, Kontras merilis data bahwa pada periode Juni 2018 - Mei 2019 terdapat 72 kasus penyiksaan yang mayoritas dilakukan oleh polisi (https://amp.kompas.com/nasional/read/2019/06/26/18024941/kontras-sepanjang-2018-2019-kasus-penyiksaan-dominan-dilakukan-polisia). Sebelumnya, masyarakat yang saat ini lebih banyak berinteraksi di dunia maya dihebohkan dengan kejadian oknum polisi memaki-maki penjual nasi bebek gegara segelas teh hangat seharga seribu rupiah di Bekasi. Sebulan sebelumnya, juga terjadi peristiwa yang menyita perhatian di Cilacap, dimana seorang AKBP yang tidak sedang menyelidiki kasus dan tanpa bukti tiba-tiba menuduh dan menggeledah Brigjen TNI AD beserta keluarganya yang dianggap mencuri handphone nya. Padahal sesungguhnya HP si AKBP tertinggal di meja.

Peristiwa nasi bebek di bekasi dan AKBP di Cilacap memang merupakan perilaku individu oknum Polri yang tidak bisa serta merta digunakan untuk menggeneralisir perilaku Polri secara kolektif maupun institusional. Namun, data yang disajikan oleh Kontras tentunya juga tidak bisa dipungkiri sebagai realitas bahwa masih banyak terjadi arogansi dan penyalahgunaan wewenang oleh personel Polri. Ini menjadi paradoks dengan konsep Democratic Policing yang digagas oleh Tito Karnavian.

Saya pribadi, terlepas dari tanggapan-tangapan reaktif dan emosional oleh pihak-pihak yang merasa terganggu maupun polemik terkait penggunaan diksi "keamanan" didalamnya, menilai bahwa sebenarnya hakekat konsep democratic policing adalah konsep atau pemikiran yang bagus, karena secara umum ingin menempatkan polisi sebagaimana mestinya didalam melayani masyarakat yang berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi. Tito Karnavian yang kebetulan sekarang menjadi Kapolri, ingin mengadopsi apa yang dilakukan oleh Sir Robert Peel dari Inggris pada awal abad ke-19 yang membentuk kepolisian modern pertama, dan benar-benar menjadi pengemban amanat rakyat.

Dalam konsep democratic policing, loyalitas polisi harus ditundukkan kepada publik, serta bekerja sesuai prinsip demokrasi, profesional, melayani dan melindungi masyarakat, berlandaskan HAM, serta bersikap netral, imparsial, dan tak diskriminatif. Polri juga dituntut menjadi pelayan masyarakat sipil, yang tak militeristik, lebih akuntabel, responsif, transparan, dan tak menghalalkan kekerasan. Hal itu ditandai dengan perubahan total struktur, sistem, hingga kultur. Karena sudah menjadi bagian dari masyarakat sipil, maka mereka perlu menjunjung tinggi norma yang berlaku dalam masyarakat. Pada akhirnya, Polri harus tertib menjadikan HAM sebagai landasan bertindak dalam penegakan hukum. Polri sebagai institusi sipil juga harus mampu menerapkan standar pelayanan publik yang prima, serta harus tunduk pada birokrasi pemerintahan dan aturan sipil.

Setelah membaca buku setebal hampir 500 halaman tersebut, saya tidak melihat adanya sesuatu yang perlu dikuatirkan dari konsep democratic policing tersebut. Dalam hal ini, saya sependapat dengan pandangan Dr. Muradi yang melihat bahwa hakikat dari democratic policing adalah perubahan paradigma personel dan kemudian diikuti oleh penyesuaian institusi kepolisian agar dapat selaras dengan nilai dan sistem demokrasi. Karena itu, secara harfiah, wacana democratic policing justru menguatkan paradigma dan esensi keamanan nasional, bukan untuk menggeser peran aktor dan atau mengubah paradigma dan esensi keamanan nasional yang ada selama ini.

Menurut saya, konsep democratic policing justru dapat dijadikan sebagai perangkat kontrol publik terhadap perilaku aparat kepolisian yang belum menerapkan prinsip-prinsip pemolisian sipil di alam demokrasi sebagaimana gagasan Tito Karnavian. Masyarakat Indonesia dapat menagih janji atau komitmen Tito untuk menjadikan Polri sebagai bagian dari masyarakat sipil dan alat negara yang menjunjung tinggi norma-norma demokrasi serta menghargai dan menghormati hak-hak sipil. Bukan sebaliknya, justru menjadi alat kekuasaan yang gemar melakukan represi terhadap hak-hak sipil.

Data yang disajikan oleh Kontras serta kejadian nasi bebek maupun tuduhan AKBP di Cilacap merupakan sebuah paradoks dari konsep democratic policing yang ditawarkan oleh Tito. Kejadian-kejadian itu menunjukkan bahwa penghargaan dan penghormatan hak-hak sipil yang menjadi salah satu roh dari democratic policing ternyata masih sangat jauh dari harapan. Kejadian-demi kejadian itu menunjukkan bahwa personel Polri alih-alih menjadi pelayan masyarakat, justru masih banyak yang merasa menjadi kelas eksklusif yang harus diistimewakan dalam pergaulan sosial. Masih terjadi paradoks antara gagasan utopis yang diwacanakan oleh Tito Karnavian melalui democratic policing dengan realitas yang terjadi sehari-hari.

Walaupun democratic policing adalah gagasan yang bagus, sepertinya Tito agak melupakan bahwa persoalan terbesar dalam tubuh Polri saat ini adalah persoalan kultural, dimana Polri sedang mengalami euforia kekuasaan yang cenderung kebablasan. Sebagaimana adagium popular yang dikemukakan oleh Lord Acton, “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely" (kekuasaan cenderung untuk disalahgunakan dan kekuasaan mutlak pasti dipersalahgunakan), itulah yang terjadi pada tubuh Polri saat ini dan harus menjadi prioritas perbaikan jika Tito ingin mewujudkan democratic policing seperti yang ditulisnya dalam buku.

Disisi yang lain, melihat banyaknya penyiksaan sebagaimana data yang diungkap oleh Kontras, tidaklah berlebihan ketika kemudian ada pihak yang memandang bahwa Polri saat ini memiliki kecenderungan “power corruption” sebagai akibat euforia kekuasaan yang berlebihan, yang didapatkan pasca pisahnya secara institusional dengan TNI. Memang, hal tersebut barangkali tidak ada korelasinya secara langsung dengan konsep democratic policing nya Tito, namun tidak salah juga jika publik memiliki kekuatiran bahwa akan terjedi kecenderungan abuse of power jika "kekuasaan" Polri tidak dibatasi dan dikontrol. Apa yang diungkap oleh Kontras serta kejadian basi bebek maupun AKBP di Cilacap adalah gambaran bahwa fenomena itu sedang dan telah terjadi, dan tidak bisa ditutup-tutupi lagi.

Masyarakat telah sangat cerdas dan mudah mengakses informasi apapun melalui perangkat teknologi yang berada dalam genggamannya. Data dari Kontras maupun kejadian basi bebek dan AKBP di Cilacap bukanlah hoax atau ujaran kebencian yang bisa dikekang oleh UU ITE. Itu semua adalah realitas yang bisa dan harus diketahui oleh publik. Oleh karena itu, Tito Karnavian masih harus bekerja ekstra keras untuk mewujudkan gagasan democratic policing melalui perbaikan kultur organisasi dan personelnya. Atau bisa jadi sebaiknya, tutup mata saja dan nikmati euforia kekuasaan yang terjadi saat ini bersama anggotanya. Yang penting sudah punya gagasan.

Mari kita tunggu kelanjutannya

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun