Partai Golkar kini menghadapi guncangan internal yang semakin parah setelah Bahlil Lahadalia terpilih sebagai Ketua Umum. Alih-alih membawa stabilitas dan memperkuat posisi partai, kepemimpinan Bahlil justru memicu ketidakpuasan yang meluas di kalangan kader. Munculnya poster-poster yang mendukung Gibran Rakabuming Raka sebagai Ketua Umum bukan sekadar dinamika politik biasa, melainkan bukti nyata bahwa banyak faksi di dalam Golkar menolak kepemimpinan Bahlil.
Sejak reformasi, Golkar selalu berhasil mempertahankan posisinya sebagai kekuatan utama dalam setiap pemerintahan. Namun, di bawah kepemimpinan Bahlil, partai ini justru semakin kehilangan arah. Penyusunan kepengurusan DPP Golkar 2024-2029 yang mencakup sekitar 150 nama menunjukkan upaya Bahlil untuk merangkul berbagai faksi, tetapi langkah ini justru menimbulkan ketidakpuasan di internal partai. Alih-alih menyatukan kader, keputusan Bahlil hanya memperburuk konflik dan memperlebar kesenjangan antar kelompok.
Ketidakmampuan Bahlil dalam mengelola faksi-faksi internal menimbulkan spekulasi bahwa Golkar tengah menuju perpecahan besar. Tidak mengherankan jika banyak kader yang kini mempertimbangkan opsi kepemimpinan baru. Bahkan, beberapa tokoh sentral Golkar seperti Nusron Wahid, Meutya Hafid, Maman Abdurrahman, dan Dito Ariotedjo dikabarkan mulai meragukan arah kepemimpinan partai di bawah Bahlil.
Selain itu, hubungan Golkar dengan pemerintahan Prabowo juga semakin tidak jelas. Di era sebelumnya, Golkar dikenal sebagai partai yang mampu memainkan peran strategis dalam pemerintahan. Namun, di bawah Bahlil, Golkar justru tampak kehilangan pengaruhnya. Ketidakjelasan arah politik partai ini bisa mengancam posisi Golkar dalam kabinet dan mengurangi peran strategisnya sebagai "tukang masak" kebijakan dan "tukang pukul" pemerintahan.
Munculnya nama Gibran sebagai calon Ketua Umum Golkar semakin memperlihatkan ketidakmampuan Bahlil dalam mempertahankan soliditas partai. Jika Golkar benar-benar mengusung Gibran, itu akan menjadi pukulan telak bagi Bahlil dan mengindikasikan ketidakpercayaan kader terhadap kepemimpinannya. Ini juga bisa memicu konflik internal yang lebih besar, mengingat ada kelompok yang ingin mempertahankan Bahlil dan ada yang ingin menggantinya dengan kepemimpinan baru.
Golkar kini berada di persimpangan jalan. Jika kepemimpinan Bahlil terus berlanjut tanpa perubahan signifikan, maka partai ini berisiko mengalami turbulensi internal yang lebih besar, bahkan berpotensi kehilangan relevansinya dalam pemerintahan Prabowo. Ketidakmampuan Bahlil dalam mengonsolidasikan partai dan mengelola faksi-faksi yang ada semakin memperlihatkan bahwa kepemimpinannya bukan solusi bagi Golkar, melainkan ancaman yang bisa mempercepat kehancuran internal partai.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI