Mohon tunggu...
sekar A
sekar A Mohon Tunggu... Penulis - pemimpi

Active

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ketika Anak Kota Pindah ke Kampung (Episode 4)

21 Juni 2019   12:39 Diperbarui: 21 Juni 2019   13:02 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cerita ini bermula di suatu siang yang panas.  Ketika itu saya sedang santai-santai di depan rumah sambil memandang chat grup WA kelasku. Grup kelas IX-H sedang ramai-ramainya membahas suatu masalah yang cukup serius. Aku sendiri tidak mengetahui apa yang mereka perdebatkan. Kayaknya sih seru! Tapi aku tidak ngerti nih, mereka ngomong apa. Kenapa? Kalian pasti tahu-lha. Orang mereka debat pake Bahasa Jawa, otomotif, eh maksudnya otomatis aku gak ngerti. Mana mereka ngetik di grup pake bahasa singkat-singkat segala lagi. Bikin pusing grup yang satu ini. Belum lagi suara penerima pesan dari HP arghhh ... karaoke mulu. Hampir setiap hari, grup itu membahas masalah yang gak penting. Misalnya, buka-bukaan aib temen sekelas, masalah utang uang kas, dan yang paling sering diperdebatkan itu masalah game dan pertandingan bola. Terutama anak laki-laki. 

Saking penasaran apa yang mereka perdebatkan saat ini, aku minta pertolongan ayah untuk menerjemahkan. Dengan optimisnya dia, ayah memasang wajah serius. Tapi sayangnya dia juga tidak tahu isi topiknya. "Temenmu kalau ngetik disingkat-singkat, jadinya Ayah gak tahu." ujarnya. Ok fine! Dia memberikan kekecewaan. Melihat hal itu, mama menyuruhku untuk membeli beberapa sembako di warung sebelah. Karena tidak mau ambil pusing gara-gara masalah grup WA, aku memenuhi permintaannya. 

Nah ... sampai nih di warung. Waktu itu kebetulan warungnya lagi sepi. Dan tepat masuk ke dalam, ada orang yang sedang berjaga. "Beli apa Mbak?" tanya Penjaga tersebut. Apa! Mbak lagi! Yang benar aja. Tapi untungnya aku tidak tersinggung. Mbak dalam artian menyapa jika yang satu ini. Tanpa basa-basi bergosip layaknya ibu-ibu, aku langsung menyebutkan nama barangnya. "Uyahnya ada di sebelah sana, tinggal ambil aja," Penjaga itu menunjukkan barang yanng salah satu aku sebutkan tadi. Aku mengangguk, lalu berjalan menuju rak yang dia maksud. Dapet masalah lagi. Apa itu? Uyah tuh sebenarnya apa sih? Masih asing di telinga. Aku kebingungan di tengah-tengah rak. Mana ada pelanggan lain lagi yang baru datang. "Uyah tuh garam Mbak." Penjaga toko memberitahu. Wow! Kok dia tahu kalau aku ini bingung. Dia seakan mengerti apa yang aku pikirkan. Apa Penjaga yang satu ini memang mantan pesulap. Atau dia sengaja belajar membaca pikiran agar bisa menjaga toko disaat ramai. 

Tapi bukan itu topik yang akan aku bahas. Setelah mengambil garam dan balik lagi ke kasir, dia langsung menghitung semua belanjaannya. "Saya tahu kalau Mbaknya ini dari Jakarta," katanya tersenyum ramah padaku. "Tahu dari tetangga. Waktu itu saya juga sempat melihat truk besar mengangkut barang," jawabnya saat aku bertanya darimana dia tahu kalau aku dari luar daerah. "Oh ya, ngomong-ngomong, Mbaknya ini kuliah dimana? Atau jangan-jangan udah nikah?" tanya Penjaga tanpa berpikir dua kali.

Pertanyaannya langsung menusuk tajam dari belakang. Hah! Kuliah, nikah! Anda bercanda ya! Aku hanya bisa tepok jidat sekaligus bersabar menghadapi pertanyaan yang satu ini. Yang hanya aku tersenyum masam mendengar pertanyaan aneh ini.  Lulus SMP aja belum, apalagi kuliah sama nikah. Mikir dikit bisa gak? Bisa kan? Ok. Tambah pusing nih kepala.Dengan nada anggun dan sabar saya hanya menjawab, "Baru SMP kelas sembilan."

Mendengar jawaban singkat dariku, Penjaga itu memasang wajah salah tingkah di depanku sambil terkekeh. Kami berdua larut dalam tawa. Untung saja  pelanggan yang lain tidak mendengar. "Maaf ya Mbak kalau pertannyaan saya tadi menyinggung, hehehe. Habis Mbaknya tinggi banget. Kalau di sini, tingginya Mbak itu udah termasuk anak kuliah."dia langsung meminta maaf sekaligus memberi pujian juga. Mendengar ukuran tinggi saya seperti anak kulaih, bagaimana nanti jika saya kuliah. Mungkin setinggi pemain basket NBA, mungkin. Memang dari dulu, aku selalu dibilang tinggi. Setiap upacara aja, aku selalu urutan paling belakang. Entah itu sekolah lama maupun sekolah baru di sini. Kayaknya tinggi badan aku kebangetan deh sampai dibilang anak kuliah atau udah nikah. Jangankan dari Penjaga yang satu ini. Waktu kelas enam dulu, Mbahku sendiri saja tanya, "Kamu SMA dimana?" dengan santainya. Mbah ... aku itu masih SD kelas enam dan baru lulus tahun ini. SMP aja belum apalagi SMA. Perbandingannya jauh banget.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun