Mohon tunggu...
abdul rakan
abdul rakan Mohon Tunggu... Apoteker - Praktisi Farmasi Klinis dan Komunitas

————

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Barang Langka Itu Bernama Keramahan

4 Februari 2018   07:10 Diperbarui: 4 Februari 2018   08:49 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
source: https://i.ytimg.com/

Belum seminggu saya mendengar kabar tentang seorang dokter sebuah rumah sakit TNI yang enggan membayar parkir senilai Rp5000,- dengan dalih bahwa TNI dan Polisi tidak perlu membayar parkir. Belakangan diketahui bahwa ia bukan dokter angkatan, tapi hanya dokter sipil. Mobil yang ia pakai pun adalah mobil istrinya yang juga dokter sipil. Sampai ia berani menolak membayar parkir hanya karena plat mobilnya adalah plat TNI.

Awalnya supir dokter tersebut sudah merelakan membayar parkir. Namun entah kenapa setelah maju beberapa meter kedepan, sang Dokter kembali menghampiri juru parkir tersebut dan menamparnya. Tidak cukup di situ sang dokter mengeluarkan pistol dan menembakkannya ke langit-langit gedung hingga membuat juru parkir ketakutan dan bersimpuh di hadapan sang dokter. Biadabnya, sang dokter pun sampai hati untuk menyuruh sang juru parkir untuk mencium kakinya. Juru parkir yang ketakutan dengan terpaksa mengikuti kemauan sang dokter.

Lain kisah, saya pernah bekerja di sebuah klinik. Malam piket, saya dikabari tukang warung kopi bahwa dokter umum yang praktek di klinik tempat saya bekerja tadi sore ribut dengan warga yang sedang mengantre di ATM. Alasannya sepele, warga tersebut hanya memandang dokter yang baru turun dari mobil. Ah, pasti Anda juga pernah memperhatikan seseorang dari kepala hingga ujung kaki kan? Begitupun kita juga pasti pernah mengalami diperhatikan dari ujung kepala hingga ujung kaki. Terlebih kalau busana kita tidak biasa. Tapi kita tidak masalah toh? Kesel sedikit masih wajarlah. Namun berbeda dengan dokter yang satu ini, ia amat tidak rela diperhatikan seperti itu. Sampai ia menghampiri warga yang melihatnya itu, "Bapak kenapa lihat-lihat saya? Ada masalah apa?". Tidak menunggu satu jam, tontonan dupat duel gratis pun segera dapat ditonton.

Banyak kisah serupa, di mana orang yang merasa punya jabatan, pangkat dan titel tinggi merasa bisa, atau bahkan harus, menindas mereka yang tidak punya jabatan, tidak berpangkat, dan tidak memiliki gelar. Mereka merasa bisa melakukan apa saja. Mereka merasa istimewa. Merasa semua orang di bawahnya harus menghormati dirinya.

Misal ada lagi seorang anggota dewan yang melanggar lalu lintas, kemudian di-stop polisi. Alih-alih sadar, ia malah menantang balik polisi tersebut. Ia merasa jabatannya lebih tinggi dari polisi. Tidak jarang juga saya mendapati oknum anggota TNI yang mengendarai motor ugal-ugalan. Lampu depan mati, tidak mengenalan helm, knalpot bising. Ia merasa keren melakukan pelanggaran. Dalam benaknya, ia mungkin berpikir bisa menghadapi polisi lantaran berstatus sebagai anggota TNI. Belum lama ini kita juga mendengar kabar ada seorang TNI yang melakukan tindak kekerasan kepada anggota polisi lalu lintas.

Ada juga beberapa anomali, ia tidak punya jabatan, tidak punya gelar, tapi ia memiliki masa, komunitas motor misalnya. Rasanya tidak perlu saya jelaskan lagi bagaimana arogannya member klub motor manakala sedang konvoi ria di jalan. Dengan pongahnya mereka memberi isyarat agar diberi jalan di tengah kemacetan. Mereka berani lantaran memiliki masa, sehingga kalau ada yang memprotes kelakuan mereka, maka mereka akan melawan balik dengan lebih brutal. Untuk beberapa ormas juga ada yang demikian, memang betul mereka mengenakan atribut agama, nama ormasnya pun sangat agamis. Tapi sikap mereka sungguh kampungan. Meresahkan. Tidak ada agamis-agamisnya.

Dari gambaran-gambaran yang diceritakan di atas, saya menarik benang merah bahwa karakter-karakter manusia yang seperti itu adalah sama-sama pengecut dan kampungan. Saya sebut kampungan karena mereka hanya berani kepada orang yang lebih rendah posisinya dari mereka. Seperti dokter yang menganiaya juru parkir, mana berani ia menghadapi direktur rumah sakit tempat ia bekerja. Kemudian dokter yang menjotos orang yang mengantre di ATM, ia berani mungkin karena menganggap orang itu adalah orang biasa, saya tanya, apakah ia berani menjotos pemilik klinik yang menggajinya? Kemudian TNI yang berani adu mulut dengan polisi, apa berani ia melawan komandannya? Lawan panglima TNI? 

Untuk para member klub motor, apa mereka berani menyetop kendaraan lain agar minggir kalau ia sedang sendiri? Termasuk para anggota ormas itu, apa ia berani merusuh kalau sedang sendiri? Mereka hanya merasa punya kekuatan ketika bersama-sama. Mereka memandang orang lain lebih rendah ketika sedang berkumpul. Harus saya katakan, mereka adalah orang kampungan yang sesungguhnya.

Sifat kampungan ini hampir dipastikan pernah menghinggapi setiap manusia. Termasuk saya sendiri. Akan saya ceritakan: Saya pernah bekerja di sebuah puskesmas, tepatnya di bagian pelayanan obat. Puskesmas tempat saya bekerja sudah bekerja sama dengan BPJS. Maka untuk pasien yang sudah memiliki BPJS sudah tidak perlu membayar ketika berobat. Sementara untuk mereka yang belum memiliki BPJS harus membayar dengan nilai tertentu.

Dulu, saya menganggap bahwa orang yang memiliki BPJS adalah orang kurang mampu dan tidak berpendidikan. Otak bawah sadar saya secara otomatis menilai bahwa posisi mereka lebih rendah. Gaji lumayan dan, tentu saja, saya berpendidikan. Begitu pikir saya. Sesuai mekanisme alam, saya pun menjadi suka-suka terhadap para pasien BPJS. Dalam melayani pasien BPJS, biasanya intonasiku tinggi, cepat, bahkan ketika pasien mengatakan kurang jelas mengenai informasi pemakaian obat, kadang dengan setengah marah aku katakan, "Itu kan udah ditulis cara pakainya! Berapa kalinya!" Para pasien BPJS itu pun pulang dengan informasi yang samar. Mau komplain khawatir dimarahi balik. "Sudah gratis, banyak mintanya." Saya sedemikian berani karena mengira mereka adalah orang miskin dan tak berpendidikan.

Sampai suatu malam saya dimarahi oleh pasien. Habis saya. Malam itu yang menjadi pasien adalah isterinya, diagnosisnya hipertensi pula. Ia ditemani suaminya. Yang pertama kali mempersalahkan intonasiku adalah suaminya, akhirnya istrinya ikut-ikutan. Dua lawan satu. Saya tidak sedang dalam posisi membela diri malam itu. Saya akui, saya salah. Tingkat keramahan saya berada pada titik nol persen, maka malam itu saya lebih memilih meminta maaf. Dan kalaupun posisi saya benar, pasti akan tetap disalahkan. Tadinya saya berani kepada pasien itu, tapi ia lebih berani, jadinya saya yang down.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun