Mohon tunggu...
Raka Abbiyan Permana
Raka Abbiyan Permana Mohon Tunggu... Penulis - Pelajar

Menulis adalah inspirasiku

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Gagal Dulu, Gagal Lagi, Sukses Terus!

21 Februari 2021   11:31 Diperbarui: 21 Februari 2021   11:36 1357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PATAH PUCUK

Di bawah langit pagi ini, hamparan padi yang mulai menguning menghiasi kampungku yang jauh dari kehidupan kota. Kehidupan yang asri, bersih, dan nyaman membuatku selalu merasa bersyukur atas pemberian-Nya. Raja siang mulai menampakan diri dengan cepat ia naik dan menunjukan pancaran sinar yang sangat silau sehinnga mataku tidak dapat melihat nyata karena terlampau terang cahayanya.  

Kicauan burung-burung yang merdu membuat diriku ini semangat untuk menjalani kehidupan pagi ini. Kubuka gorden kamarku, terlihat cahaya yang mulai meraba seiisi kamarku. Kini, aku harus mempersiapkan diri untuk pergi ke sekolah mengambil surat kelulusan.

Yogyakarta, 2009. Hiruk pikuk daerah ini begitu menyesakkan, bagi seorang anak kecil yang baru saja mengalami kegagalan di sekolahnya. Kecewa! Ekspetasi mengalahkan semangatku. Ranti, ya, itu panggilanku. Nama yang sangat bersejarah bagiku. Siapa lagi kalau bukan orang tuaku yang memberinya. Hampa ... juga sedih, aku merasa sangat bingung. Aku harus melakukan apa jika aku pulang ke rumah. Ayah dan ibu pasti akan memarahiku, buktinya dari kecil aku selalu kena gusar orang tuaku. Aku sampai saat ini tidak tahu apa alasan orang tuaku memarihiku. Bahkan tak jarang, tangan mereka pun ikut berbicara saat memarahiku. Tapi, aku tidak terlalu memikirkan hal itu. Saat ini, permasalahanku yaitu bagaimana caranya bilang ke orang tuaku bahwa aku tidak lulus.

Kutekadkan diri untuk pulang ke rumah, badanku terasa dingin sekali. Menurut sahabatku, Lia. Dia mengatakan bahwa wajahku pucat seperti mayat, badanku semakin bergetar ketika Lia harus berpisah denganku, karena rumah dia berbeda arah denganku. Aku takut, kalau aku harus memberikan surat ini sendirian kepada orang tuaku.

Rumahku kini sudah di depan mata, tetapi aku merasa enggan untuk masuk ke rumah itu. Padahal, itu rumahku sendiri. Langkah demi Langkah kucoba untuk masuk ke rumah, aku harap saat ini di rumah tidak ada siapa-siapa. Akan tetapi, harapanku berkata lain justru orang tuaku saat ini sedang membicarakan tentang masalah bisnisnya. Ini kesempatan emas bagiku untuk langsung pergi ke kamar. Takdir berkata lain, tiba-tiba ayahku memanggil.

"Ranti, mengapa kamu terburu-buru pergi ke kamar?" tanya Ayahku.

            Mampus! Kenapa ayahku memanggilku. Jantungku berdebar semakin kencang, tetatpi aku harus terlihat tenang.

"Iya, ada apa Ayah?" jawabku dengan santai.

"Mana surat kelulusanmu? Ayah lihat anak Pak Damar sudah mendapatkan surat kelulusannya mana milikkmu?"

"Iya, mana suratmu Ranti?" tanya Ibu.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun