Mohon tunggu...
Rajiman Andrianus Sirait
Rajiman Andrianus Sirait Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa, penulis jurnal, artikel dan lagu, sebagai editor beberapa buku Teologi dan pendidikan agama Kristen dan saya juga aktif dalam pelayanan sosial dan gereja

Nama saya Rajiman Andrianus Sirait, saya berprofesi sebagai Mahasiswa, penulis jurnal, artikel dan lagu, sebagai editor beberapa buku Teologi dan pendidikan agama Kristen dan saya juga aktif dalam pelayanan sosial dan gereja

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Adu Gengsi Menjadi Petaka

3 Maret 2023   08:47 Diperbarui: 3 Maret 2023   09:00 440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Desain by: Canva and Pixabay

Dalam era yang serba canggih dan maju saat ini, kita mulai dipertontonkan akan kondisi di mana semua orang mulai berlomba-lomba untuk semakin diakui dan dilihat sebagai pribadi yang terhormat dan mulia. Adu gengsi dengan memamerkan kekayaan dan kekuasaan menjadi habit atau mungkin kelatahan yang tidak dapat dihindari. Persoalannya, salah siapakah ini semua? Apakah ini merupakan kewajiban yang harus, seperti makan? Sepertinya tidak!

Untuk dapat diakui oleh semua orang, memang dalam hitungan kehidupan dalam dunia ini haruslah menunjukkan kepada semua manusia lainnya bahwa dia memiliki sesuatu, tetapi menunjukkan semuanya bukanlah suatu kewajiban, melainkan itu semua adalah pilihan dari manusia itu sendiri. Manusia yang sebenarnya diberikan akal, dapat memilah apakah itu baik atau buruk, apakah itu pantas atau tidak pantas. Tetapi semuanya seakan tertutup, disebabkan namanya "gengsi." Sekali lagi "gengsi" membuat semuanya yang benar dan manis, dihiraukan (yang penting kepuasan gengsi bisa terpenuhi). Lucu memang, karena bila kita berpikir dengan jernih, apakah semuanya itu akan memberi kebahagiaan selamanya? Toh, itu hanya kebahagiaan yang sifatnya temporary. Karena pada akhirnya kita tidak dapat memegang hal tersebut selamanya. Kok bisa?

Ya jelas, manusia itu di dalam dunia ini juga hanya sementara, paling kuat sampai 70 tahun masa hidupnya, lebih dari itu bonus, bahkan belum sampai umur 70 tahun, banyak juga yang sudah berpulang. Sebagai manusia yang berakal, sejatinya kita harus menyadari bahwa kita ini manusia yang memiliki keterbatasan, baik dari segi tempat, waktu dan juga kekuatan. Meskipun kekayaan dan kekuasaan di dalam dunia kita miliki, apakah semuanya itu bisa membuat kita selamat dikehidupan yang selanjutnya (setelah kematian dalam dunia)?

Ok, mungkin kematian terlalu berlebihan, kita ambil contoh dengan apa yang terjadi beberapa saat ini yang begitu viral, bagaimana, semua hal yang dikumpulkan bertahun-tahun dan dibanggakan hancur hanya dalam sekejap, hanya karena tidak bisa mengontrol dirinya sendiri. kembali lagi, "semuanya pilihan." Manusia yang bijak sejatinya dapat belajar dari pengalaman atau kesalahan orang lainnya juga, tanpa harus melakukan kesalahan yang sama baru setelah itu sadar. 

Sebagai manusia yang sadar, bahwa kita makhluk terbatas, sejatinya jangan pernah menaruh semuanya dalam hal yang sifatnya semu semata. Kita ada sampai saat ini, itu semuanya karena kemurahan Tuhan semata. Ketika kita mulai diberkati dengan berbagai macam hal, selalu ingat bahwa semuanya itu adalah titipan untuk kita Kelola sebagai sarana untuk kita dapat berbuat kebajikan di dalam dunia ini. Ingat kita bukan pemilikinya, kita hanya pengelola. Untuk dapat tetap dalam koridor yang tepat, seharusnya kita bisa memilih pergaulan yang sehat dan masuk dalam suatu komunitas yang positif. Hal tersebut bukan tanpa alasan, karena "siapa yang bergaul dengan orang bijak menjadi bijak, tetapi siapa yang bergaul dengan orang bebal akan menjadi malang." 

Orang yang bijak pasti akan selalu berhati-hati dalam menapaki kehidupannya, karena dia sadar diri, siapa dia dan darimana dia datang. Orang bijak sejatinya menjadi terang dan garam di dunia ini. Akan tetapi orang bebal, akan melampiaskan nafsunya dan merasa aman dengan apa yang dia miliki. Sekali lagi belajarlah dari setiap kejadian yang telah terjadi, sebagai cambuk kepada diri untuk menjaga setiap Langkah hidup kita. Kita memang manusia yang juga tidak luput dari berbuat salah, akan tetapi sebagai orang yang bijak, pastinya ketika kita berbuat salah, akan segera mengakuinya bukan malah mencoba membela diri dengan berbagai dalil. Ya, kalau pakai istilah filosofi Jawa " Gusti Ora Sare."

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun