Mohon tunggu...
Raisya AlyaKhalidazia
Raisya AlyaKhalidazia Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Karya, sastra, musikalisasi

Sastra dapat menjiwai apa yang di ucapkan entah tersurat atau tersirat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Filosofi Kopi

28 Februari 2021   20:57 Diperbarui: 28 Februari 2021   21:43 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kisah ini diambil dari seorang anak perempuan yang mengeluh kepada ibunya. Ia mengeluhkan betapa berat ujian hidup yang ia lalui, dari dia yang selalu diolok-olok temannya, selalu dicemooh, bahkan tak pernah dihargai oleh orang-orang disekitarnya. Hingga suatu hari ia merasa lelah dengan apa yang telah ia hadapi. 

"Bu, betapa lelahnya menjalani kehidupan ini. Rasanya, aku ingin mati!" Umpat anak itu sambil meletakkan tas nya sepulang sekolah. Sang Ibu yang melihat perlakuan anaknya hanya tersenyum,"Mengapa teman-temanku tak pernah menghargai hasil jerih payahku? Selalu saja aku yang disalahkan. Apa aku memang payah?". Sang anak kemudian masuk ke dalam kamarnya dan merapikan barang-barangnya dengan perasaan marah. Sang ibu segera menyelesaikan pekerjaannya di dapur dan ia melepas celmeknya. Ia berjalan menghampiri anaknya yang berada di kamar. 

"Anakku, akan ku tunjukkan hal yang belum pernah engkau ketahui sebelumnya. Jika kau ingin tahu apa yang menyebabkan dirimu seperti ini, ikuti ibu menuju dapur," ucap sang ibu. Sang anak hanya diam dan mengikuti langkah ibunya menuju dapur.

"Apa yang akan kau lakukan bu?" tanya sang anak keheranan karena ia melihat ibunya menyiapkan 3 buah panci yang berada di atas tungku api yang membara. Setiap panci memiliki isi yang berbeda. Pada panci pertama sang ibu mengisi air rebusan yang berisi wortel. Pada panci kedua Sang Ibu mengisi air rebusan dengan telur ayam. Dan pada panci ketiga sang ibu mengisinya dengan air dan biji kopi. Sang anak terheran dengan apa yang dilakukan oleh ibunya. 

"Apa yang akan ibu lakukan?" Sang ibu tersenyum dan menjawab pertanyaan anaknya dengan sabar,"Wahai anakku dengarkanlah, anggap saja api yang berkobar ini adalah masalah yang sedang menerpamu. Kemudian isi dari panci ini adalah dirimu. Kita tunggu setelah limabelas menit," kata sang ibu. Sang anak hanya tertegun memandang tiap isi panci yang memberi reaksi berbeda-beda. Lima belas menit kemudian, sang ibu mengajak sang anak untuk melihat apa yang terjadi terhadap tiga rebusan itu. 

"Lihatlah nak, wortel ini semakin empuk bahkan bisa hancur jika direbus terlalu lama, lalu lihatlah telur ini cangkangnya semakin kuat bila ia direbus lama namun jika ia jatuh, maka cangkangnya akan retak. Tetapi, lihatlah kopi ini, jika semakin dipanaskan ia akan menghasilkan aroma dan rasa yang nikmat. Sekarang, pilihan ada di tanganmu. Kau ingin seperti wortel yang hancur ketika masalah menghampirimu, atau seperti telur yang mengeraskan hati dan akan pecah jika ia terjatuh. Atau kau ingin seperti kopi yang mana jika semakin panas maka ia akan menghasilkan aroma dan rasa yang pas." Ujar sang ibu. Seketika sang anak merenungi perkataan ibunya dan tersenyum mengiyakan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun