Mohon tunggu...
Rais syukur Timung
Rais syukur Timung Mohon Tunggu... Lainnya - Pena Nalar Pinggiran

* Omo Sanza Lettere * Muslim Intelektual Profesional

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Meneropong Riuh Kontestasi: Kita Tak Kekurangan Contoh

20 Agustus 2020   00:17 Diperbarui: 20 Agustus 2020   15:45 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat melihat orang-Orang begitu Bersemangat memperebutkan sebuah kedudukan Tinggi. Pikiran saya tertuju pada sosok yang dipaksa mempunyai kedudukan mentereng. Jangankan ikut berlomba, ia bahkan ditawarkan hampir semua jabatan kepadanya, Dia menolak. Bahkan berbagai materi yang diantarkan kedepan pintu rumahnya, Ia Pun tak mau, dan tetap bangga menggenjot sepeda tuanya.

Suatu waktu ditahun 80-an, ia memanggil Anaknya khusus untuk urung rembuk, membantunya Berpikir, tentang sebuah Surat dari Istana : ia ditawari sebuah kedudukan Tinggi, menjadi Penasehat Presiden.

Anaknya dengan Naif bertanya : orang-orang berlomba menjadi pejabat tinggi, mengapa ayah Justru tidak berminat?

Apa jawaban Ayahnya : "bagiku, kedudukan itu untuk diamanahkan kepada orang yang mampu, bukan diperebutkan Seperti Piala. Agar ada kemajuan, agar ada Progres, ada harkat dan martabat bangsa yang menukik naik, agar kolusi dan korupsi hilang. Kekuasaan bukan alat untuk memperkaya diri sendiri, tetapi untuk memperkaya bangsa. Inilah yang menurutku kebiasaan yang benar. Bukan membenarkan yang biasa".

Anaknya bertanya lagi sambil bercanda : memangnya ayah, pernah memegang kekuasaan. Ayah kan cuman Guru dan Dosen biasa. Kita tak punya Harta berlebih, bahkan kita tidak punya rumah sampai sekarang?

Jawab ayahnya : kau saja yang tidak tau, nak. Sebenarnya banyak peluangku untuk berkuasa, bertahta dan Kaya melintir. Aku pernah ditawari jadi menteri, pejabat tinggi, petinggi Partai sampai Menjadi Rektor, semua ayah Tolak. Itu belum dengan banyaknya Materi-Materi yang diantarkan kedepan pintu rumah, tetapi ayah menolak dan mengembalikannya. Bukan karena ayah Tak bersyukur pada Nikmati, tetapi masih banyak yang lebih Butuh. Gaji ayah sebagai dosen cukup utnuk memenuhi kebutuhan hidup kita.

Jika membaca tapak sejarah D.N Aidit (Dipa Nusantara Aidit atau Djafar nawawi Aidit) waktu menaikkan kembali elektabilitas PKI pasca peristiwa Madiun (Muso 1948). beliau yang putera tuan tanah di bangka belitung ini, menafikan hedonisme. kalau bukan karena istrinya yang dokter, ia akan miskin melarat. Ayahnya menghiba-berharap agar Aidit pulang ke bangka belitung.

"Nak, Tanah kita seluas mata memandang, kelolah lah dengan ambisi seorang pedangang", setidaknya demikian kata haji Aidit (Ayah Aidit) itu. Tapi Aidit tak bergeming. dengan idealisme dan militansi, ayah Ilham Aidit ini berani miskin dalam biduk bernama partai politik.

Jangan tanya Muhammad Natsir. Para Anak Historis dan simpatisan Masyumi pasti akan menangis mendengar kisah inspiratif tentang kemampuan Natsir menekan Hedonisme ke titik paling rendah, "Karena memang krisis politik bermula ketika para politisi tidak mampu menekan ambisi hedonistik mereka ke titik nol," (J.Nehru).

Demikian pula dengan si Jenius K.H.Agus Salim  punya kepribadian yang pantas didedah sebagai bekal yang baik untuk perjalanan panjang Para Politisi kita. Menilai kepribadiaan Agus Salim manusia cerdas dan jago berdiplomasi; Mentor Soekarno dalam kebijakan Luar negeri. Ia banyak kelebihan, teramat banyak menguasai Dan menulis 8 bahasa dengan baik. tapi ia punya kelemahan; hidupnya melarat dari satu gang buntu ke gang banjir.

Apakah pejabat dan politisi kita harus melarat supaya bisa menyejarah?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun