Mohon tunggu...
Raisa Faradilla
Raisa Faradilla Mohon Tunggu... -

penulis adalah mahasiswi FISIP UNAIR jurusan Ilmu Politik 2008...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Fenomena Popularitas Artis dalam Pilkada pada Segmen Pemilih Awam

3 Mei 2010   16:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:26 776
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Semenjak rezim Orde Baru tak lagi berkuasa di negeri ini, pemerintahan yang awalnya adalah pemerintahan totaliter otoriter yang berbalut demokrasi serentak berubah menjadi negara dengan pertumbuhan tingkat demokrasi tercepat di Asia setelah runtuhnya rezim Soeharto yang ditandai dengan adanya Reformasi 1997.Jatuhnya pemerintahan yang otoriter itu telah memunculkan suatu sikap demokrasi yang bebas seperti yang dicita-citakan oleh rakyat Indonesia selama ini. Namun, jika kita membandingkan antara Indonesia dulu dengan sekarang. Dimana Indonesia yang dulu hanyalah sekedar Demokrasi bualan ala otoriter Soeharto, sekarang menjadi Indonesia yang murni negara demokrasi, negara yang bebas memilih pemimpin yang berkuasa, negara yang mensyaratkan adanya kebebasan pendapat dan bersuara untuk mengkritik pemerintahan, juga dimana pers dan media tidak hanya menjadi seorang alat dalam komunikasi politik saja, Namun juga telah menjadi aktor politik yang dapat membawa suara kepentingan kaum berkuasa atau pemilik modal. Demokrasi bebas menentukan aktor-aktor politik yang akan bermain di ranah politik, namun tak selamanya Demokrasi itu indah. Sebab, Menurut Tesis Demokrasi karya Daniel Sparringa, Bahwa Demokrasi yang berlebihan hanya akan meniscayakan suatu euphoria sesaat tanpa hasil. Mungkin itulah hal yang tepat menggambarkan hasil dari Demokrasi impian rakyat saat ini, dimana euphoria demokrasi telah membuat semua elemen masyarakat seolah menyerukan kata kebebasan sebagai hak yang paling hakiki dari manusia.

Seperti yang belakangan ini terjadi, kebebasan nampaknya telah menjadi pemikiran utama dari rakyat Indonesia. Dengan mengatasnamakan kebebasan, mungkin itulah yang melandasi fenomena artis masuk dalam ranah politik. Memang ini bukanlah hal yang mengagetkan atau tabu sebab dalam pengertian Demokrasi sendiri, tiap orang berhak untuk dicalonkan atau maju menjadi pemimpin asalkan memiliki suara dan kekuatan massa. Tidak peduli itu pengusaha, masyarakat sipil, militer, bahkan artis sekalipun semua berhak untuk maju mencalonkan diri sebagai pemimpin. Dalam dunia politik sendiri sudah banyak nama artis-artis yang sudah duduk dan mewarnai ranah politik negeri ini sebut saja seperti seperti Adjie Massaid (Demokrat), Rieke Diah Pitaloka (PDI-P), Eko Patrio (PAN), dll. Adalah salah satu dari contoh tentang betapa maraknya fenomena artis masuk dalam dunia politik. Dunia Politik yang sarat akan kekuasaan, kewenangan dan legitimasi rupanya telah menghipnotis artis-artis untuk memasuki dunia politik walaupun harus meninggalkan dunia keartisan yang telah membesarkan nama mereka.

Dalam konteks pemilihan umum sendiri, terdapat pemilih awam yang sekedar hanya mencoblos saja dan sekedar menyuarakan hak politiknya tanpa berfikir rasionalitas saat akan memilih, dan ada juga pemilih yang secara rasionalitas memilih calon pemimpinnya. Hal ini amat merugikan dan mengecewakan jika hasil kemenangan suara dimenangkan oleh calon yang buta politik sendiri, calon yang mencalonkan diri hanya sekedar coba-coba. Tentulah akan menjadi boomerang tersendiri bagi rakyat yang nantinya akan diperintah, sekarang dalam konteks artis masuk ranah politik, dimana artis yang hanya mengerti dunia seni harus secara tiba-tiba terjun ke dalam dunia politik yang terasa masih baru dan awam bagi para artis tersebut. Jika mereka tidak memiliki bekal yang cukup sebagai seorang pemimpin yang dapat mengemban amanah rakyat, lalu daerah yang akan mereka pimpin tersebut, bagaimana mereka akan memimpinnya, apakah mereka sanggup membawa amanah untuk kemajuan daerah tersebut. Semisal contoh, Julia Perez yang akan mencalonkan diri menjadi calon wakil bupati dari Kabupaten Pacitan. Ia mengaku hanya mengerti Pacitan dari sebatas browsing internet dan belum pernah terjun langsung ke daerah yang akan ia pimpin, lantas bagaimana ia dapat memimpin daerah tersebut jika ia belum tau letak dan medan serta kekayaan alam daerah tersebut, corak budaya serta penduduknya, ditambah pula ia tidak punya ilmu dan kemampuan politik sama sekali, bukankah itu justru akan menambah kehancuran daerah tersebut.

Rupanya partai politik sadar benar bahwa kemampuan mereka untuk memenangkan pemilihan umum tidak hanya sebatas kader hebat dan ulung saja, namun terlepas dari itu fenomena popularitas mulai menjadi suatu keharusan dan nilai plus dalam kemenangan tim sukse partai tersebut. Partai Politik tadi sadar benar jika masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih menjadi massa mengambang (floating mass) belum memiliki pilihan pemimpin mereka. Dan itu adalah cara jitu dari partai politik untuk menggerakkan suara mereka untuk memilih calon dari partai tersebut. Berbekal popularitas menggunung dan fans ribuan, mulailah partai politik tadi memasang nama artis tersebut untuk ikut mengampanyekan partai mereka. Otomatis rakyat akan lebih mudah mengenali wajah si artis daripada politisi yang pintar namun tidak terkenal. Sungguh ironis mengingat popularitas juga menjadi faktor utama kemenangan suara. Memang sebenarnya, popolaritas sendiri bukanlah hal yang salah dalam proses kemenangan pemilihan umum namun yang menjadi masalah apakah para calon rakyat itu mampu mengemban amanah menjadi pemimpin di daerah yang akan dipimpin jika bekal ilmu serta keterampilan saja tidak memadai.

Dalam ranah kajian voting behavior sendiri, popularitas adalah key success factor yang tak dapat ditawar-tawar buat seorang politisi untuk merintis jalan menuju kekuasaan. Tiga ranah, mengadopsi pendekatan psikologis dan edukasi, harus dilalui oleh seorang kandidat jika ingin terpilih dalam satu ajang pemilihan langsung.

Pertama, ranah kognisi. Pemilih harus diisi dengan aspek pengenalan mereka terhadap calon, baik dalam level yang minimalis maupun ke tingkat paling tinggi seperti kenal secara langsung lewat tatap muka. Ranah inilah yang paling menentukan sebelum kalkulasi-kalkulasi politik kekuasaan dilakukan. Popularitas adalah modal dasar bagi seoarang kandidat untuk terpilih (elektabilitas). Elektabilitas menjadi ruang hampa seiring dengan kosongnya ruang pengetahuan (pengenalan) publik terhadap calon.

Setelah itu, langkah-langkah elektabilitas bisa mulai diproses di ranah afeksi. Yaitu dengan ‘membius’ publik dengan janji dan arti penting kehadiran calon dalam konteks pemilihan yang sedang berlangsung. Popularitas tentunya dapat berlangsung secara simultan dalam proses penumbuhan sikap afeksi publik. Namun tetap saja biasanya kepentingan dalam proses menaikkan citra dan kedikenalan lebih dominan ketimbang proses pendidikan publik terhadap apa yang akan dibawa dan dilakukan oleh caloan jika terpilih.

Di akhir proses ini tentunya diharapkan akan muncul sikap tegas berdimensi psikomotorik, yaitu pencoblosan calon di ruang bilik pemilih oleh pemilih. Pergumulan untuk sampai pada posisi akhir tersebut tentunya, sekali lagi, tak akan terealisasi jika sang calon tidak populer.

Dalam konteks inilah kehadiran artis menjadi sangat signifikan. Artis adalah sosok figur publik yang pasti telah dikenal lewat media-media massa. Popularitas adalah sesuatu yang sudah given dalam diri seorang artis. Kegilaan publik dan media terhadap infotainment di Indonesia misalnya, menjadikan popularitas seorang artis dapat diraih dalam hitungan hari.

Menyadari arti penting popularitas itulah, para politisi berlomba merayu selebriti sebagai votegetter seperti dalam kasus Dede Yusuf atau sebagai stabilisator suara dalam kasus Rano Karno. Di sini terlihat jelas, kehadiran selebriti masih sebagai yang “diajak”, sebagai (calon) wakil. Bukan sebagai calon utama yang determinan.

Barangkali akan lebih bijak jika seorang artis sebelum memutuskan untuk hengkang dari panggung keartisan ke panggung politik, memahami, mempelajari dan menimba pengalaman dunia perpolitikan lebih dahulu. Contoh cukup bagus di perlihatkan artis Dede Yusuf yang tidak begitu saja mencalonkan diri sebagai Wakil Gubernur Jawa Barat tetapi terlebih dahulu mengasah kemampuan dan pengalamannya dengan menjadi kader salah satu partai politik, sehingga tidak instan dalam menggeluti dunia politik, serta memberi kesempatan kepada masyarakat untuk menilai talenta berpolitiknya. Akhirnya masyarakat akan menyaksikan dan menilai goyangan artis dalam berkiprah dipanggung perpolitikan ditanah air ini, apakah menjadi lebih baik ataukah buruk dari sebelumnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun