Korupsi adalah suatu "budaya" yang tidak akan pernah lepas dari kehidupan manusia karena setiap manusia pasti pernah melakukannya, entah dalam skala kecil maupun skala yang masif.Â
Hal tersebut terjadi dikarenakan keinginan manusia untuk mendapatkan keuntungan yang sebenarnya bukan menjadi haknya. Manusia sebagai makhluk tercerdas di dunia dengan akal budi yang dimilikinya memiliki kemampuan untuk memanipulasi apapun dihadapannya dengan pengetahuan yang semakin bertambah tiap harinya. Dengan pernyataan tersebut, bukan tidak mungkin segala sesuatu mampu diubah demi keuntungan pribadi maupun kelompok, apalagi berhubungan dengan uang.
Keuntungan sepihak merupakan dambaan bagi banyak oknum untuk mendapatkan uang dikarenakan pada masa-masa sekarang, banyak yang beranggapan bahwa segala sesuatu mampu dibayarkan dengan uang. Kekayaan dan kekuasaan yang dibentuk dengan uang diharapkan mampu bertahan lama dan membentuk sebuah "dinasti" yang dihormati semua kalangan masyarakat. Dengan uang "panas", para "tikus kantor" membentuk imunitas (kekebalan) hukum bagi keluarga dan dirinya sendiri sehingga aman dari segala ancaman. Uang juga menjadi dasar kekuasaan di mana mereka mampu membeli jabatan dan menimbun kekayaan kembali dengan cashback yang berlipat ganda.
Korupsi terjadi di mana saja, oleh siapa saja, dan kapan saja sehingga pada masa pandemi COVID -- 19 pun hal tersebut masih terjadi demi mendapatkan keuntungan di masa-masa serat seperti ini. Mulai dari permasalahan ekspor bibit lobster hingga pengadaan bantuan sosial pun menjadi "taman bermain" bagi para koruptor. Dengan dua menteri yang menjadi tersangka atas dua kasus tersebut, tidak menutup kemungkinan bahwa ada pejabat lain yang melakukan hal yang sama dalam bidang yang dikerjakannya. Penyalahgunaan jabatan tersebut juga menjadi sebuah dugaan bagi masyarakat bahwa dana bantuan selama masa pandemi ini juga "ditelan" oleh para pejabat, entah pejabat negara maupun pejabat daerah demi kepentingan ekonomi maupun politik.
Dugaan masyarakat terhadap tindak korupsi para pejabat kementerian maupun pejabat daerah berangsur-angsur meningkat. Manuver politik yang dilakukan para pejabat memerlukan uang yang banyak sehingga membuka kemungkinan bahwa uang tersebut berasal dari hasil "tilepan" para pejabat dari anggaran se-masa pandemi. Peran KPK menjadi dominan sebagai lembaga pengawas tindak korupsi yang seharusnya diberikan kesempatan sebesar-besarnya untuk melaksanakan tugas utamanya, yaitu mengawasi dan memeriksa serta menetapkan status dengan adil. Pemerintah harus mampu mengkoordinir dan bekerja sama dengan KPK untuk menyelamatkan uang rakyat dari tindakan "nakal" para penjahat republik ini.
Pendapatan menipis, ekonomi negara resesi, tapi masih saja korupsi. Ibaratkan jabatan itu adalah kentang goreng, maka uang "rasuah" adalah saosnya. Yang haram memang enak.