Mohon tunggu...
Raihan Lubis
Raihan Lubis Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pembaca dan suka menulis

Seorang pembaca dan suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bebalnya Kita dalam Menghadapi Bencana

3 Oktober 2019   15:33 Diperbarui: 4 Oktober 2019   03:35 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: kompas.com

Kamis pekan lalu (26/9), Kota Ambon, Maluku, kembali diguncang gempa M 6,5. Dan sampai tulisan ini dibuat, gempa susulan masih terus terjadi. Sekitar 15 ribu orang masih mengungsi, dan 23 orang dilaporkan meninggal dunia. Pada tahun 1674, gempa bumi disusul tsunami melanda Maluku -juga Ambon---yang tercatat sebagai bencana terbesar dalam sejarah bencana Indonesia. 

Bukan menakut-nakuti, tetapi gempa-gempa yang terjadi dalam dua pekan terakhir di Maluku ini, patut diwaspadai.

Tapi boro-boro waspada dan mengingat kejadian ratusan tahun lalu, gempa bumi dan tsunami Aceh yang baru berumur 15 tahun itu- dan tercatat sebagai bencana terbesar dalam sejarah modern- juga tak pernah memberikan pelajaran bagi bangsa ini.

Kita selalu saja abai dan jika korban sudah jatuh, maka kata takdir Tuhan yang menjadi narasinya.

Selain pemaaf, bangsa kita juga dikenal mudah melupakan- termasuk melupakan kejadian-kejadian bencana besar dengan korban jiwa yang tidak sedikit.

Sebagai salah seorang yang selamat dari gempa bumi dan terjangan tsunami Aceh 2004, sesungguhnya saya sedih dengan tingkat kesadaran dan kesiapsiagaan kita pada bencana.

Bagi saya---dan juga mungkin orang-orang yang selamat dalam peristiwa gempa bumi dan tsunami Aceh---saat itu kami memang tak punya pengetahuan tentang tsunami.

Walau saya bersyukur sekali, ketika dua minggu sebelum kejadian, saya menonton film The Day After Tomorrow. 

Sehingga ketika banyak orang berlari-lari ke arah kami dan mengabarkan bahwa air laut sudah masuk ke sebagian kota Banda Aceh, saya yang saat itu berada di samping masjid raya Banda Aceh, segera menyelamatkan diri ke tempat tinggi.

Saya sudah punya bayangan bagaimana jika air laut menerabas dan menghempas sampai ke kota. Hanya itu pengetahuan yang saya punya saat itu.

Dan kini, lima belas tahun setelah kejadian itu, rasanya Indonesia tak pernah putus dirundung bencana alam semacam gempa, tsunami, bahkan likuifaksi. Dari beragam kejadian itu, korban terus saja berjatuhan---karena kita abai.

Padahal kita hidup di wilayah rawan bencana, kita hidup berdampingan dengan bencana-bencana alam tersebut.

Saya ingat dalam salah satu pertemuan yang saya ikuti terkait kebencanaan, ada seorang pejabat dari badan kebencanaan mengaku beberapa waktu sebelum terjadinya bencana besar di salah satu wilayah di bagian timur Indonesia, dia sudah melakukan pendekatan dengan pemerintah setempat agar dilakukan simulasi untuk menghadapi bencana.

Tapi jawaban pemerintah daerahnya saat itu mengatakan tidak menghendaki, karena bisa jadi menakut-nakuti masyarakat.

Tapi itulah kita. Pemerintah daerah dan masyarakat cederung merasa tak ada yang perlu ditakutkan dengan bencana yang akan datang---karena itu persoalan takdir semata. Parahnya, ada yang menganggap bencana alam sebagai murka tuhan.

Sebagaimana juga di Aceh dan juga banyak daerah bencana lainnya. Masyarakat korban bencana acap kembali ke tanah mereka---meski sudah dikatakan tidak layak untuk dihuni karena merupakan daerah 'merah' bencana.

Pemerintah daerahnya juga setali tiga uang, tak pernah punya perencanaan yang matang dan baik jika bencana datang.

Hal ini dapat dilihat dari kesiapsiagaan gedung-gedung yang disebut sebagai 'escape buidling'. Tak jarang ditemui jika escape building malah jadi 'tempat sampah' dan dibiarkan mangkrak.

Akhir tahun lalu, saya ke Aceh bersama seorang peneliti gempa dan tsunami dari Jepang.

Salah satu yang kami lakukan adalah melihat tiang yang dibangun Jepang di beberapa tempat di kota Banda Aceh.

Tiang-tiang dari beton ini dibuat tingginya sama dengan tinggi air ketika tsunami menjamah daerah-daerah tersebut. Tiang-tiang ini dibuat sebagai tugu 'ingatan'. 

Tapi apa yang terjadi? Sebagian tiang telah lenyap karena warga membangun rumah di sekitar tiang yang pernah dibangun.

Sementara tiang-tiang yang dibangun di sekolah, tertutup rerimbunan pohon dan tak pernah dilihat, apalagi dicat oleh pihak sekolah.

Dari puluhan tiang, hanya ada satu tiang yang kami temukan, dirawat penduduk setempat, dibangun di halaman masjid daerah yang terdampak tsunami cukup parah masa itu.

Kini, alarm gempa terus menyala. Tsunami dan juga bencana lainnya juga mungkin akan terjadi kembali---walau entah kapan.

Sebagai umat beragama, selain mempercayai takdir, kita juga diminta untuk berikhtiar.

Dan kesiapsiagan serta kewaspadaan kita pada bencana yang akan datang adalah sebuah ikhtiar. Jumlah korban bukanlah angka statistik semata.

Sampai kapan kita bebal dalam menghadapi bencana?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun