Mohon tunggu...
dade samsul rais
dade samsul rais Mohon Tunggu... Konsultan - Mantan jurnalis, sekarang bergerak di bidang konsultan media

Saya tertarik menganalisis sosial politik

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Renungan Pilkada, Masihkah Kita Sepakat untuk Tidak Sepakat?

26 Juni 2018   12:02 Diperbarui: 26 Juni 2018   15:17 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

"Kalau sudah mengancam (keutuhan) negara, semua pihak harus sepakat menghentikan perdebatan dan perbedaan sikap politik tentang itu."  Demikian kurang lebih penegasan yang saya masih ingat dari seorang Anies Baswedan, ketika ia masih sebagai cendikia, pada sebuah talkshow di sebuah stasiun televisi.

Penegasan itu bagai oase bagi saya, di tengah kegaduhan politik saat itu. Bung Anies, menjadi tokoh muda, yang menurut saya punya komitmen kuat tentang keutuhan state, di tengah euphoria demokrasi yang kadang justru kebablasan menyeret negara pada ambang perpecahan.

Itu cerita dulu, ketika Bung Anies, berjalan pada rel idealis. Tapi, ketika ia terjun pada politik praktis  yang sarat dengan kepentingan pragmatis, sepertinya Bung Anies juga mulai abai dengan penegasan yang pernah diucapkannya dulu.

Ketika pilkada DKI 2017, di mana mesin politik pendukungnya mengeksploitasi politik identitas, ia sama tidak berdiri tegak mencegahnya. Bisa jadi ia tak berdaya dengan kalkulasi-kalkulasi keuntungan politik besar yang ditunjukkan mesin politik pendukung, dengan mengambil jalan eksploitasi politik identitas.

Dan nyatanya, strategi politik itu mendulang sukses sekaligus mengantarkannya menjadi guberniur DKI menjungkalkan Ahok, sang petahana. Meskipun, saya yakin Bung Anies sangat sadari, efek politik identitas yang mengantarkannya menjadi DKI 1, tidak hanya mengakibatkan terjadinya belah sosial dan psikologi warga ibukota, namun beresonansi setanah air. 

Publik terbelah menjadi dua kubu dengan dengan identitas SARA sebagai pembedanya, terutama identitas agama dan keimanan. Bagaimana seseorang dengan mudah dicap sebagai golongan alim atau kafir dan munafikun karena perbedaan pilihan politik.

Pasca pilkada DKI, belah sosial itu, bukannya mereduksi, tapi makin mengkristal karena memang ada upaya 'maintenance' untuk kepentingan politik nasional tahun depan (Pilpres). Bahkan, beberapa istilah sengaja diluncurkan untuk makin mengeraskan perbedaan sikap publik dan kekuatan politik dua kubu itu, seperti munculnya istilah "Partai Setan" dan "Partai Allah". Lagi-lagi agama, dijadikan basis pembedanya, sesuatu yang sebenarnya sangat riskan menimbulkan perpecahan, yang menurut penegasan Bung Anies di awal, sebaiknya disepakati oleh semua pihak dihentikan perdebatannnya.

Bahkan gelora politik identitas seperti yang dilakukan di pilkada DKI, oleh kekuatan politik yang pernah merasakannya keuntungannya, dikloning untuk beberapa pilkada yang akan berlangsung serentak besok. Meski tak segegap gempita di pilkada DKI, politik identitas SARA tampak dimainan secara sistematis terutama yang paling menonjol di Jawa Barat dan Sumatera Utara. Black campaign, dan eksploitasi SARA bermunculan di dua lokus Jabar dan Sumut tak sekadar di media sosial, bahkan panggung kampanye sekalipun. 

Pertanyaannya, output seperti apa yang akan didapat gerak demokrasi macam ini? Polarisasi publik, dengan segala bentuk ekses buruknya. Celakanya, jika terjadi pembelahan sosial di mana pisau pembelahnya adalah SARA, sama artinya kita sedang menggali kubur negara bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam pertikaian dan perpecahan.

Padahal para pendiri bangsa dulu dengan susah payah berpolitik untuk merajut nusantara menjadi satu kesatuan di atas banyak sekali perbedaan, etnis, bahasa, agama, budaya dan lain-lain. Menjadi aneh dan mengganggu akal sehat, jika generasi berikutnya justru berpolitik yang berisiko mengurai kesatuan yang telah dibangun. Pasti ada yang salah dengan perilaku politik yang tengah dijalankan generasi saat ini.

Luka sosial akibat SARA akan lama pulihnya, apalagi jika kita mencoba longshoot bahwa kepentingan global yang menginginkan Indonesia tercerai berai juga banyak. Belah sosial bisa dijadikan pemantik bagi kekutan global untuk 'membakar' Indonesia menjadi onggokan hangus seperti negara-negara Timur Tengah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun