Mohon tunggu...
dade samsul rais
dade samsul rais Mohon Tunggu... Konsultan - Mantan jurnalis, sekarang bergerak di bidang konsultan media

Saya tertarik menganalisis sosial politik

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi, Persepsi Jenderal, dan Islam Politik

9 Mei 2018   13:47 Diperbarui: 9 Mei 2018   15:22 549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seorang pengamat politik luar pernah berpendapat, yang paling berpeluang menjadi pemimpin (presiden) di Indonesia adalah jenderal atau konglomerat. Pendapat itu tentu didasarkan pengamatan dan analisis atas realita politik Indonesia pasca tumbangnya rezim Soeharto.

Mungkin pendapat itu tidak sepenuhnya tepat untuk menggambarkan peta kekuasaan selama 20 tahun reformasi. Tapi setidaknya pendapat itu mengandung kebenaran. Jenderal (purn) menjadi sosok yang tak pernah absen dari tiap kontestasi kepemimpinan nasional pasca reformasi. Mereka, ada yang sukses berkuasa, tapi tak sedikit yang gagal dalam kontestasi.

Sedangkan konglomerat, meski tidak langsung menjadi penguasa, tetapi secara tersamar selalu berada dekat kekuasaan. 'Kolaboratif' antara penguasa-pengusaha seperti telah menjadi tradisi kekuasaan Indonesia terutama sejak rezim Soeharto.

Popularitas calon militer pada kontestasi politik nasional, sempat melorot di awal-awal reformasi ketika supremasi sipil mencapai puncaknya. Tapi seiring makin bertambah usia reformasi, kondisinya seperti berbalik. Figur militer kembali memenuhi memori sebagian publik tentang figur seorang pemimpin.

Pilpres tahun depan, sepertinya akan mengulang kontestasi tahun 2014, ketika Joko Widodo (sipil) akan berhadapan dengan Prabowo Subianto (background militer). Bisa juga Jokowi berhadapan dengan Gatot Nurmantyo (juga background militer), atau malah terdapat tiga pasangan yang bertarung yakni Jokowi, Prabowo, dan Gatot Nurmantyo, jika poros tengah yang disebut-sebut akan mengusung Gatot kemudian terbentuk.

Yang pasti, persepsi jenderal vs sipil akan kembali mengisi ruang publik tentang suksesi kepemimpinan. Karena dipastikan pilpres 2019, terjadi tarung kekuatan sipil yang cenderung nasionalis (Jokowi) versus militer yang sepertinya akan menggalang dukungan kekuatan Islam (Prabowo dan atau Gatot Nurmantyo). Bahkan beberapa partai Islam, dan kekuatan Islam politik telah berikrar tidak akan mendukung Jokowi. Artinya, jika konsisten, mereka akan berada di kubu lawan Jokowi, yang hampir dipastikan capresnya adalah sosok background militer, baik Prabowo maupun Gatot Nurmantyo.

Mengapa, sosok militer selalu mendapat tempat pada tiap kontestasi politik, baik nasional (pilpres) bahkan pilkada? Saya melihat setidaknya ada dua hal yang melatarinya. Pertama, persepsi militer (apalagi jenderal) sosok tegas, berwibawa, dan lebih kapabel memimpin negara, masih cukup memenuhi memori sebagian publik.

Hal ini tak tak lepas dari sejarah panjang yang melatarinya. Kepemimpinan militeristik otoritarian selama 32 tahun rezim Soeharto  --yang begitu represif-- rupanya suka tidak suka, cukup menancap tersimpan dalam memori bawah sadar sebagian publik. Karena selama 32 tahun, otak publik tak memiliki role model kepemimpinan lain selain militeristik, sehingga menimbulkan gejala sisa yang kemudian teraktualisasi dalam bentuk persepsi itu tadi mengalahkan argumen lain bahwa kekuasaan militer juga sebenarnya menimbulkan bencana kemanusiaan, karena otoriter dan represif..

Kedua, meski saya tak mau menyebut terjadi kegagalan politisi sipil tampil mengesankan sebagai pemimpin di berbagai level kepemimpinan, pada kenyataannya, reformasi tak banyak menghasilkan figur-figur kuat pemimpin sipil, apalagi dari kalangan muda. Banyak tokoh sipil --termasuk muda-- yang semula digadang-gadang bakal menjadi pemimpin, kemudian malah berakhir di balik jeruji besi KPK.

Jokowi Adalah Anomali

Menjelang pilpres tahun depan, bukan hanya variabel persepsi jenderal/militer, yang dipastikan masih laku. Variabel lain, yakni faktor identitas terutama agama, menjadi hal yang sangat menonjol. Sebuah konklusi yang degelorakan, calon presiden/cawapres haruslah muslim bahkan dengan kadar religiusitas --berdasarkan ukuran manusia--- baik. Makanya tak heran, sejumlah tokoh politik sekarang seragam tampil lebih Islami dengan atribut-atribut keislaman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun