Mohon tunggu...
Inovasi

Antisipasi Bencana Masyarakat Rendah

28 Juni 2016   10:56 Diperbarui: 28 Juni 2016   11:14 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Tanah longsor di Purworejo pada Sabtu (19/6) merupakan bencana terparah di wilayah Jawa Tengah. Laporan akhir sebanyak lima puluhan korban meninggal, sebagian masih hilang. Menurut Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) setempat memperkirakan data korban akan bertambah. Sebab ada beberapa warga yang tertimbung longsor dan ada laporan warga yang hilang. Ganjar Pranowo menyatakan Jawa Tengah sebagai Supermarket Bencana. Pernyataan itu menunjukan bahwa peristiwa bencana yang sering terjadi perlu diwaspadai. Kemungkinan besar bencana serupa bakal terulang kembali dan menelan korban lebih banyak.

Purworejo merupakan daerah berlangganan bencana. Bencana alam kerap terjadi setiap tahun akibat hujan deras dalam jangka waktu yang lama. Melihat begitu seringnya terjadi bencana seharusnya masyarakat sudah siap dalam antisipasi. Berdasarkan peristiwa tanah longsor itu antisipasi terhadap bencana tergolong rendah. Rendahnya Kesadaran antisipasi bencana membuat siap siaga bencana belum mampu diterapkan. Kenyataannya masih ada masyarakat menjadi korban. Apabila selama ini masyarakat mengerti tanda-tanda alam yang berakibat bencana memungkinkan tidak akan ada korban.

Antisipasi bencana yang rendah juga dipengaruhi pola pikir masyarakat. Waktu kejadian bencana belum terjadi mungkin masyarakat tidak pernah memikirkan bakal terjadi peristiwa bencana. Sehingga antisipasi bencana kurang diperhatikan oleh warga yang tinggal di permukiman rawan bencana. Selama antisipasi bencana tidak diperhatikan maka masyarakat tidak memikirkan bakal terjadi bencana.  Masyarakat berasumsi bahwa lingkungan permukiman tempat tinggalnya terhindar dari bencana.

Peristiwa bencana berada diluar kemampuan manusia yang dapat terjadi begitu saja tanpa pemberitahuan. Namun demikian masyarakat cenderung menunggu bencana itu terjadi sehingga menimbulkan korban. Selain itu keyakinan bahwa bencana adalah “kehendak tuhan” membuat masyarakat pasrah akan peristiwa tersebut. Peristiwa bencana dianggap sebagai bentuk peringatan atau kutukan yang membuat masyarakat tidak siap menghadapi (Mengutip ringkasan Rahmawati Husein dosen ilmu pemerintahan UMY dalam “Workshop Fiqh Kebencanaan” 25 Juni 2014.

Anggapan peristiwa bencana sebagai “kehendak tuhan” memang tidak dapat dipungkiri. Lantas apakah kehendak tuhan akan menjadi kesimpulan dari peristiwa bencana yang  bakal terjadi di tahun-tahun berikutnya?. Apakah anggapan tersebut tetap berlaku untuk mengakhiri peristiwa yang merengut banyak korban?. Merespon pertanyaan atas rendahnya kesadaran bencana dan kebiasaan cara pandang masyarakat perlu dirubah. Pertama yaitu dengan menepis stigma bahwa bencana bukan semata-mata hanya kehendak tuhan. Sehingga Jauh sebelum teerjadi bencana masyarakat harus lebih siap menanggapi, sehingga menelan korban akibat bencana.

Kedua mendorong masyarakat dengan memberikan ilmu pengetahuan yang ringan dan sederhana tentang bahaya bencana bagi kehidupan manusia. Bahaya bencana disebabkan proses geofisk, geologi, dan hidrometeorologi yang  mempengaruhi lingkungan fisik (Husein, R. BENCANA DI INDONESIA DAN PERGESERAN PARADIGMA PENANGGULANGAN BENCANA: CATATAN RINGKASAN). Pengetahuan bahaya bencana yang disampaikan dengan ringan dengan kultur sumber daya manusisa rendah mampu menangkap  dan merealisasikan dalam menghadapi bencana. Misalkan bagi masyarakat yang bermukim di hilir sungai dan dataran tinggi. Jika turun hujan lebat yang berlangsung lama atau lebih dari sepekan maka harus segera mengungsi. Lebih tepatnya cara ini disebut ilmu “titen” terhadap kondisi lingkungan harus digunakan untuk antisipasi bencana lebih awal.

Ketiga, menghilangkan kebiasaan berfikir kuno. Terkadang masyarakat masih menyimpan anggapan bahwa jika belum terjadi bencana di wilayah tempat tinggalnya maka daerah tersebut aman dari bencana. Kesan menyepelekan dengan gamblang masih melekat di benak warga. Sehingga antisipasi bencana itu masih jauh dari kesadaran masyarakat. Akibatnya ketika bencana datang warga tidak siap menghadapi. Tanggap bencana tidak cukup sebagai perhatian pemerintah saja. Melainkan masyarakat sendiri harus lebih paham dalam mengenal tanda-tanda bencana yang mengancam wilayahnya.

Menyimpulkan jawaban dari respon diatas khususnya bagi  masyarakat yang sudah lama bermukim di wilayah zona merah dan sulit untuk direlokasi. Kejadian bencana yang sudah menjadi langganan di Kabupaten Purworejo setidaknya dapat di antisipasi lebih dini. Persiapan tanggap bencana harus segera dilakukan dengan mengenali kondisi lingkungan. Sehingga korban jiwa akibat bencana dapat dihindari.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun