Culas. Barangkali kata itu pun kurang pas untuk bisa menggambarkan kekesalan kita terhadap Setya Novanto. Betapa tidak, dalam sejarah menjadikan tersangka pelaku tindak pidana korupsi, KPK tak pernah dibuat seheboh kasus Papa Setnov ini.
Licin bagai belut terendam oli. Beberapa kali lepas, dengan berbagai muslihat mulai dari awal mula ditersangkakan, menggugat balik lewat praperadilan hingga terkapar di rumah sakit, digeruduk ke rumahnya, nihil aromanya pun tak terlacak, menjadi buron, malamnya mobil nabrak tiang listrik masuk rumah sakit lagi, mungkin berikutnya koma lagi, pura-pura amnesia,komplikasi  atau pura-pura gila, dapat kartu kuning.
Atau, apalah entah...!
Namun, sadarkah kita bahwa laku yang diperagakan oleh Setya Novanto hari ini adalah gambaran tentang kondisi kita, kondisi Indonesia hari ini. Krisis rasa malu, muka tembok dan sikap bebal, meski barangkali dalam bentuk yang berbeda dan levelnya mungkin jauh berada di bawah kelas Setya Novanto.
Setya Novanto yang jumawa dan merasa selalu benar, dalam bentuk lain mewujud dari kepongahan merasa pintar tapi tak pintar merasa. Suatu ketika, di sebuah acara televisi, saat Setya Novanto disuruh memilih antara kejujuran dan kesuksesan, dengan yakin dia memilih kejujuran. Dan, belakangan sikapnya justeru diketahui memantati kejujuran. Bukankah, di sekeliling kita, terlalu sering juga dijumpai orang-orang yang berteriak tentang kejujuran, tapi jauh dari perilaku jujur. Atau barangkali, ketakjujuran itulah yang dianggap kejujuran kini.
Setya Novanto, seringkali menunjukkan sikap yang merendahkan akal sehat dan kewarasan, ketika KPK menjadikannya tersangka, KPK di praperadilankan, dilaporkan ke polisi, sehingga memicu banyak meme dan lelucon, seperti ketika mobilnya menabrak tiang listrik, dalam meme muncul tiang listriklah yang masuh UGD, tatkala digigit nyamuk, tiba-tiba nyamuknya terserang DBD, demam berdarah. Bukankah laku itu sering juga kita temui dalam kehidupan sehari-hari di sekitar kita, menyalahkan orang yang benar dan membenarkan orang yang salah. Kritik dan protes dianggap lelucon, rakyat dianggap badut, suaranya dianggap nyinyir dan bahan hiburan.
Setya Novanto seringkali pura-pura lupa seperti tak punya masalah, tertidur atau tidur tak kenal waktu dan tak pilih tempat, ketika sidang atau menghadiri undangan, seolah hidup tak pernah memiliki beban, meski tak satupun tahu dan yakin, bahwa ia benar-benar tak tertekan. Dan perilaku seperti itu, juga tak sedikit di sekitar kita kan? Pura-pura lupa dengan kewajiban, pura-pura tak ingat dengan amanah, tertawa cekikan, bersenandung seolah bahaya, padahal tak satupun orang bisa menjamin, jiwa yang kerontang meronta.
Setya Novanto adalah sosok, seperti Raja Midas dalam mitologi Yunani. Serakah, selalu merasa benar, yang berbeda darinya adalah salah sehingga harus dipolisikan, dari pembuat meme, pencaci di media sosial, hingga pejabat negara yang berwenang memberantas korupsi, semua salah karena telah berperkara dengannya.
Semua simbol yang diperagakan Setya Novanto itu, ada di sekitar kita. Meski ia mungkin masih dalam bentuk benih atau biang. Serakah, tamak, angkuh, merasa benar sendiri, pandai bersandiwara, dan segala lelaku laknat lainnya.
Negeri ini memang telah betul-betul telah dipenuhi oleh pertunjukan yang menjijikkan. Di tingkat RT, sebuah aksi oknum RT terekam dalam sebua video memprovokosi warga menelanjangi seorang pasangan yang diduga mesum, tak ada nurani yang tersentuh, ketika si cewek berteriak, menjerit histeris seraya menutupi dua payudaranya dengan kedua telapak tangannya, yang menjadi tontonan orang banyak. Semua kebiadaban seolah menjadi lelucon yang menghibur. Sakit jiwa!
Kita pun ikut tertawa dengan perilaku begundal-begundal seperti itu. Termasuk jangan lupa menertawakan wartawan yang nyambijadi sopir itu juga!!