Mohon tunggu...
Rahmatul Ummah As Saury
Rahmatul Ummah As Saury Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis dan Editor Lepas. Pemilik www.omah1001.com

Ingin menikmati kebebasan yang damai dan menyejukkan, keberagaman yang indah, mendamba komunitas yang tak melulu mencari kesalahan, tapi selalu bahu membahu untuk saling menunjuki kebenaran yang sejuk dan aman untuk berteduh semua orang.. Kata dan Ingatan saya sebagian ditulis di www.omah1001.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Intuisionisme Sebagai Sumber Pengetahuan

17 Oktober 2015   07:36 Diperbarui: 4 April 2017   16:55 3033
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Henry Bergson (1859-1941), seorang filosof Perancis modern yang beraliran intuisionisme, membagi pengetahuan menjadi dua macam; “pengetahuan mengenai” (knowledge about) dan “pengetahuan tentang” (knowledge of). Pengetahuan pertama disebut dengan pengetahuan diskursif atau simbolis dan pengetahuan kedua disebut dengan pengetahuan langsung atau pengetahuan intuitif karena diperoleh secara langsung. Atas dasar perbedaan ini, Bergson menjelaskan bahwa pengetahuan diskursif diperoleh melalui simbol-simbol yang mencoba menyatakan kepada kita “mengenai” sesuatu dengan jalan berlaku sebagai terjemahan bagi sesuatu itu. Oleh karenanya, ia tergantung kepada pemikiran dari sudut pandang atau kerangka acuan tertentu yang dipakai dan sebagai akibat maupun kerangka acuan yang digunakan itu. Sebaliknya pengetahuan intuitif adalah merupakan pengetahuan yang nisbi ataupun lewat perantara. Ia mengatasi sifat -lahiriah- pengetahuan simbolis yang pada dasarnya bersifat analitis dan memberikan pengetahuan tentang obyek secara keseluruhan. Maka dari itu menurut Bergson, intuisi adalah sesuatu sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika.[10]

Lebih lanjut Bergson menyatakan bahwa intuisi sebenarnya adalah naluri (instinct) yang menjadi kesadaran diri sendiri dan dapat menuntun kita kepada kehidupan dalam (batin). Jika intuisi dapat meluas maka ia dapat memberi petunjuk dalam hal-hal yang vital. Jadi, dengan intuisi kita dapat menemukan “elan vital” atau dorongan yang vital dari dunia yang berasal dari dalam dan langsung, bukan dengan intelek.[11]

Douglas V. Steere dalam Mysticism, mengatatakan bahwa pengetahuan intuisi yang ditemukan orang dalam penjabaran-penjabaran mistik memungkinkan kita untuk mendapatkan pengetahuan yang langsung dan mengatasi (transcend) pengatahuan yang kita peroleh dengan akal dan indera. Mistisisme atau mistik diberi batasan sebagai kondisi orang yang amat sadar tentang kehadiran yang maha riil (the condition of being overwhelmingly aware of the presence of the ultimately real). Kata Steere pula, intuisi dalam mistik bahkan memiliki implikasi yang lebih jauh sebab mungkin dijelmakan menjadi persatuan aku dan Tuhan pribadi (al-ittihad) atau kesadaran kosmis (wahdah al-wujud).[12]

Menurut William James, mistisisme merupakan suatu kondisi pemahaman (noetic). Sebab bagi para penganutnya, mistisisme merupakan suatu kondisi pemahaman dan pengetahuan, di mana dalam kondisi tersebut tersingkaplah hakikat realitas yang baginya merupakan ilham yang bersifat intuitif dan bukan merupakan pengetahuan demonstratis. Sejalan dengan James, Bertrand Russell setelah menganalisa kondisi-kondisi mistisisme kemudian berkesimpulan, bahwa di antara yang membedakan antara mistisisme dengan filsafat-filsafat yang lain adalah adanya keyakinan atas intuisi (intuition) dan pemahaman batin (insight) sebagai metode pengetahuan, kebalikan dari pengetahuan rasional analitik.[13]

  1. Tokoh Aliran Intuisionisme dan Pemikirannya

 

  • Henry Bergson (1859-1941)[14]

Salah satu tokoh aliran intuisionisme ini adalah Henry Bergson (1859-1941). Menurutnya, intuisi merupakan suatu sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Unsur utama bagi pengetahuan adalah kemungkinan adanya suatu bentuk penghayatan langsung (intuitif),di samping pengalaman oleh indera. Setidaknya, dalam beberapa hal, intuisionisme tidak mengingkari nilai pengalaman inderawi, kendati diakui bahwa pengetahuan yang sempurna adalah yang diperoleh melalui intuisi. Harold H. Titus memberikan catatan, bahwa intuisi adalah suau jenis pengetahuan yang lebih tinggi, wataknya berbeda dengan pengetahuan yang diungkapkan oleh indera dan akal; dan bahwa intuisi yang ditemukan orang dalam penjabaran-penjabaran mistik memungkinkan kita untuk mendapatkan pengetahuan langsung yang mengatasi (trancendent) pengetahuan kita yang diperoleh dari indera dan akal. Selain itu ia juga beranggapan tidak hanya indera yang terbatas, akal juga terbatas. Objek – objek yang kita tangkap adalah objek – objek yang selalu berubah. Jadi pengetahuan tentangya tidak pernah tetap. Intelek atau akal juga terbatas. Akal hanya memahami suatu objek bila ia mengonsentrasikan dirinya pada objek itu. Jadi dalam hal seperti itu, manusia tidak mengetahui secara keseluruhan (unique), tidak juga memahami sifat – sifat yang tetap dalam objek. Akal hanya mampu memahami bagian – bagian dari objek, kemudian bagian – bagian itu digabung oleh akal. Itu tidak sama dengan pengetahuan menhyeluruh tentang  objek itu.

Dengan menyadari keterbatasan indera dan akal seperti diterangkan di atas, Bergson mengembangkan  kemampuan  tingkat tinggi yang dimiliki oleh manusia, yaitu intuisi. Ini adalah hasil pemikiran evolusi pemahaman yang tertinggi. Kemampuan ini mirip dengan instinct, tetapi berbeda dalam kesadaran dan kebebasannya. Pengembangan kemampuan ini (intuisi). Memerlukan sutu usaha. Kemampuan inilah yang dapat memahami kebenaran yang utuh, yang tetap, dan unique. Intuisi ini menangkap objek secara langsung, tanpa melalui pemikiran. Jadi, indera dan akal hanya mampu menghasilkan pengetahuan yang tidak utuh (spatial), sedangkan intuisi dapat menghasilkan pengetahuan yang utuh dan tetap.

Intuisi mengatasi sifat lahiriyah pengetahuan simbolis, yang pada dasrnya bersifat analitis. Yang memberikan keseluruhan yang bersahaja. Yang mutlak tanpa suatu ungkapan, terjemahan atau penggambaran secara simbolis.  Maka menurut Bergson, instuisi adalah suatu sarana untuk mengetahui sacara langsung dan seketika. Bergson juga mengembalikan sagala sesuatu pada kata hati. Tapi pengaruhnya kalau kita mengambil keputusan berdasarkan kata hati, maka kita akan selalu berprasangka. Jadi, tidak semua hal itu berdasarkan intuisi.

Intuisionisme tidak mengingkari nilai pengalaman inderawi yang biasanya dan pengetahuan yang disimpulkan darinya. Intuisionisme dalam beberapa bentuk hanya mengatakan bahwa pengetahuan yang lengkap diperoleh melalui intuisi. Sebagai lawan dari pengetahuan yang nisbi, yang meliputi sebagian saja yang diberikan oelh analisa. Ada yang berpendirian yang bahwa apa yang diberikan oleh indera hanyalah yang menampak belaka. Sebagai lawan dari apa yang diberikan oelha intuisi, yaitu kenyataan.

  • Luitzen Egbertus Jan Brouwer (1881-1966)[15]

Brouwer dilahirkan di sebuah kota di Overschie, Belanda. Di kalangan teman-temannya, Brouwer sering dipanggil dengan nama “Bertus.” Pada tahun 1897, Brouwer mengikuti kuliah di universitas Amsterdam untuk belajar matematika dan fisika. Salah seorang dosennya, Diederik Korteweg, dosen matematika, kelak memberi pengaruh besar bagi dirinya. Korteweg terkenal karena mengemukakan suatu persamaan yang disebut persamaan Korteweg – de Vries. Dosen lain yang mempengaruhinya adalah Gerrit Mannoury, dosen filsafat. Karya pertama Brouwer adalah rotasi pada ruang empat dimensi di bawah bimbingan Korteweg. Menurut Brouwer, dasar dari intuisionisme adalah pikiran.

Namun pemikiran-pemikiran yang dicetuskannya banyak dipengaruhi oleh pandangan Immanuel Kant. Matematika didefinisikan oleh Brouwer sebagai aktifitas berpikir secara bebas, namun eksak, suatu aktivitas yang ditemukan dari intuisi pada suatu saat tertentu. Dalam pandangan intuisionisme tidak ada realisme terhadap objek-objek dan tidak ada bahasa yang menjembatani, sehingga bisa dikatakan tidak ada penentu kebenaran matematika diluar aktivitas berpikir. Proposisi hanya berlaku ketika subjek dapat dibuktikan kebenarannya (dibawa keluar dari kerangka pemikiran). Singkat kata, Brouwer mengungkapkan bahwa “tidak ada kebenaran tanpa dilakukan pembuktian”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun