Mohon tunggu...
Rahmat Setiadi
Rahmat Setiadi Mohon Tunggu... Buruh - Karyawan swasta yang suka nulis dan nonton film

Saya suka baca-tulis dan nonton film.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membudayakan Budaya Sensor Mandiri pada Anak dan Remaja (II)

13 Desember 2022   13:50 Diperbarui: 13 Desember 2022   14:03 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Majalah Sensor Film edisi IV 

Pasal 10 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, menyatakan bahwa "Setiap anak berhak untuk menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima dan mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatuhan". Dalam kaitan dengan film, dapat diartikan bahwa anak-anak berhak memilih dan mendapatkan tontonan yang ramah anak.

 Menilik data penyensoran Lembaga Sensor Film (LSF), sepanjang bulan Januari hingga awal Desember 2020, jumlah film layar lebar yang disensor sebanyak 171 judul. Dari total tersebut, hanya 20 film yang berklasifikasi semua Umur (SU). Artinya hanya 11 persen dari seluruh film layar lebar yang ramah anak.

Sementara kita tahu bahwa jumlah film yang tayang di platform digital lebih menggurita lagi dari sisi kuantitas dan mengkhawatirkan secara kualitatif. Terlebih lagi pengawasan dan penegakan aturan media baru (platform digital), belum terpenuhinya kuota tontonan bagi anak sepertinya masih jauh panggang dari api.

 Ada semacam kegamangan yang dihadapi baik oleh para produsen maupun konsumen perfilman Indonesia. Dari aspek produsen, ada semacam kekhawatiran bahwa jika membuat film anak maka pangsa pasarnya akan sangat terbatas. Adapun bagi konsumen, pasar membuktikan bahwa film anak hanya meraup sedikit penonton.  

Sepintas bisa kita lihat film-film dengan jumlah penonton, seperti Warkop DKI Reborn: Jangkrik Bos! Part 1 (6,8 juta penonton), Dilan 1990 (6,3 juta penonton), Dilan 1991 (5,2 juta penonton), Laskar Pelangi (4,7 juta), Habibie & Ainun (4,5 juta), Pengabdi Setan (4,2 juta), Warkop DKI Reborn: Jangkrik Bos! Part 1 (4 juta penonton), Ayat-Ayat Cinta (3,6 juta), Ada Apa dengan Cinta? 2 (3,6 juta), dan Suzanna: Bernapas dalam Kubur (3,3 juta).

Setelah diperbolehkannya bioskop dibuka kembali, film-film dengan jumlah penonton lebih banyak lagi. Sebut saja seperti KKN Di Desa Penari yang tembus hampir 10 juta penonton, Pengabdi Setan 6,3juta, Ivana 2,7 juta, Kukira Kau Rumah 2,2 juta, The Doll 3 hampir 2 juta penonton, dan lainnya yang tidak ada penonton tembus jutaan pada film segala usia, apalagi usia anak, seperti film Tegar, Keluarga Cemara 2, Gendut Siapa Takut.

Pada prinsipnya, tontonan ramah anak tak boleh hanya menjadi slogan dan jargon belaka. Seluruh pemangku kepentingan perfilman mesti memberikan perhatian serius atas hal ini. Jangan sampai tsunami tontonan yang merangsek masuk ke wilayah Indonesia justru akan mengancam perkembangan moral dan mental anak bangsa.

Lalu bagaimana dengan perempuan dalam perfilman Indonesia?

Dr. Maria Ulfah Ansor dari Komnas Perempuan, menyebut, di film Indonesia, perempuan masih sering menjadi objek ketubuhan. "Perempuan di dalam perfilman, belum dijadikan subjek," ujar Maria Ulfah. "Perempuan punya pengalaman, punya hak, punya perspektif yang juga harus dihargai," tambah Maria Ulfah. Ia mengingatkan, perspektif hak asasi perempuan dalam perfilman, seharusnya mengacu pada Hak Asasi Manusia yang termasuk di dalamnya Hak Asasi Perempuan, dengan lima prinsip. Antara lain universal dan nondiskriminasi.

Sementara tiga konsep HAM, menyangkut martabat manusia, kesetaraan, dan tanggung jawab negara untuk tunduk pada norma-norma hukum dan standar di dalam instrumen HAM. "Komponen ini menjadi bagian yang seharusnya menjadi substansi di dalam perfilman, baik terkait dengan konten, penyajian, maupun proses lain," ujar Maria Ulfah.

Pejuang kesetaraan gender ini juga menyampaikan tentang HAM dengan perspektif gender. "HAM berperspektif gender sebenarnya sebuah upaya untuk menjembatani antara HAM universal dan HAM dari sudut pandang pengalaman-pengalaman dari perspektif perempuan," ujar Maria Ulfah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun