Mohon tunggu...
Rahmat Setiadi
Rahmat Setiadi Mohon Tunggu... Buruh - Karyawan swasta yang suka nulis dan nonton film

Saya suka baca-tulis dan nonton film.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Budaya Internal dan Internasionalisasi

27 November 2022   10:07 Diperbarui: 27 November 2022   10:09 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bicara budaya bagi saya itu cukup sulit, karena apa? Mungkin saya yang tidak memahami makna budaya, atau saya yang tidak kompeten untuk membahasnya. Atau mungkin karena budaya itu sendiri yang tidak mau masuk ke pemahaman saya.

Masalahnya begini, saya, tuh, bingung dengan budaya yang dimaksud. Sepengetahuan saya budaya yang terpublikasi selalu identik dengan seni. Parade, karnaval, gebyar, pagelaran yang gak jauh dari seni tari, seni suara, seni berpakaian, seni kuliner, lalu berujung pada pariwisata.

Sementara budaya dalam bentuk bahasa, adat kebiasaan, hukum-hukum adat, justru kian terdesak dengan dalih nasionalisasi. Bahasa daerah terdesak oleh bahasa Indonesia, hukum adat terdesak oleh hukum positif praktis, adat kebiasaan terkikis, yang kesemuanya bisa digeneralisir dengan yang disebut efek modernisasi.

 

Sementara, sanggar-sanggar seni kian terdesak oleh minat yang berorientasi pada pendapatan/ekonomi. Seni pahat kayu terhambat oleh minimnya bahan kayu, seni pahat batu terhambat oleh minimnya pasar, seni kerajinan tangan tidak jauh berbeda. Sanggar tari, lukisan, dan sanggar-sanggar seni dan budaya harus tertatih-tatih memenuhi kebutuhan anggotanya.

Seni berdalang mati suri, bukan saja karena regenerasi yang terhambat tapi juga pada minat penonton dan mahalnya pagelaran yang komplit. Seni debus, seni beladiri, kanuragan, yang mengimbangi kesehatan  jiwa dan raga, stag sebatas permainan belaka. Bahkan ajang seni budaya ada yang masih dianggap hal sakral hingga timbul kesan mistik yang justru menjadikannya kerdil dan terkucil dengan sendirinya.

Kita sering mendengar dan meneriakkan untuk menjaga, melestarikan budaya luhur negri ini, tapi kita sendiri lebih memilih menerima budaya luar negri. Pemerintah memprogramkan cagar budaya, tapi tidak membatasi dengan ketat atas budaya keterbukaan, modernisme. Kita ingin tetap berbudaya, tapi kita dipaksa untuk tidak berbudaya.

Keterbatasan kemampuan naluriah manusia cenderung diimbangi dengan kemampuan lain yang diperoleh melalui proses belajar. Kemampuan belajar ini dimungkinkan oleh berkembangnya tingkat intelegensi dan cara berpikir simbolik pada manusia.

Pewarisan kebudayaan tidak hanya secara vertikal atau menurun ke anak cucu, tetapi juga horizontal di mana manusia yang satu dapat belajar kebudayaan dari manusia yang lain.

Berbagai pengalaman manusia dalam rangka kebudayaannya akan diteruskan kepada generasi berikutnya atau dapat pula dikomunikasikan kepada individu lainnya karena ia dapat mengembangkan gagasan-gagasannya dalam bentuk lambang-lambang vocal berupa bahasa, serta dikomunikasikan dengan orang lain melalui kepandaiannya berbicara dan menulis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun