Mohon tunggu...
Rahmat Setiadi
Rahmat Setiadi Mohon Tunggu... Buruh - Karyawan swasta yang suka nulis dan nonton film

Saya suka baca-tulis dan nonton film.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Bahagia Tidak Selalu Rasa Senang

9 November 2022   07:06 Diperbarui: 9 November 2022   07:13 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hakekat Bahagia

Rasa atau perasaan? Keduanya hampir-hampir sulit diungkapkan. Rasa pedas, asin, pahit, bagi yang merasakan hanya bisa ditunjukkan dengan ekspresi. Rasa pada gilirannya bisa diidentifikasi yang kemudian dikonversi menjadi zat-zat kimiawi.

 

Seperti sifat rasa lainnya, bahagia merupakan hasil dari reaksi kimiawi di dalam tubuh yang  bisa tampak, namun sering pula yang  mengalaminya saja yang dapat mengetahui dalam diam dan atau hingga ia mengungkapkan.

Bahagia identik dengan  keindahan sebagai ekspresi perasaan dan pikiran terhadap kenyataan yang jika dihubungkan dengan  karya seni dijelaskan dengan  kata-kata deformasi, stilisasi dan simbolisasi. Yang jika dihubungkan dengan  hormonal dapat dipahami dengan  istilah endorfin, serotonin, dopamin, oksitosin,dan sebagainya.

Reaksi kimia yang menimbulkan rasa bahagia dengan berbagai tingkatan bahagia bisa jadi menentukan bagaimana cara metode untuk mencapainya.

Kegiatan yang dilakukan maupun asupan yang diterima tubuh akan mempengaruhi reaksi dalam tubuh. Bisa jadi tulang sama putih, darah sama merah dan sel jaringan pembangun tubuh tampak sama bentuk dan kandungannya, serta reaksi kimia dalam  tubuh dengan  segala pandangan antropologi , medis, psikologi atau apapun ilmu yang  berkaitan dengan  manusia,  tubuh dan hubungannya dalam sosial, lingkungan, alam sudah sedang dan masih berusaha menjelaskan, mengklarifikasi.

Tapi sejauh ini ternyata bahagia masih jadi obyek yang dicari dan diusahakan semua orang, tak terkecuali para pakar ilmu. Hingga kimia kebahagiaan memasuki ranah retorika,logika dan metafisika.

Kita bisa saja makan coklat, liburan, olahraga, dekat dengan keluarga, ekonomi cukup bahkan berlimpah. Kita bisa saja kecukupan gizi, kebutuhan sex terpenuhi, namun tetap saja rasa bahagia terasa kurang bahkan terasa tertutupi oleh rasa sedih, kecewa, dan terus mengejar kebahagiaan tak berujung.

 

Kita masih dalam dilema, kebahagiaan atau kesenangan? Kebahagiaan yang dikejar atau malah hasrat senang yang tidak pernah berkecukupan? Seolah dibenarkan bahwa hidup adalah tempat kesengsaraan dan kebahagiaan menjadi suatu hal hingga terus menerus dikejar.

Jika diterima, pengetahuan menjadi tolak ukur kebahagiaan. Semakin tinggi pengetahuan seseorang maka orang lain akan memandangnya lebih bahagia dari dirinya. Bukan status sosial, ekonomi maupun faktor keindahan fenomenal lainnya,. Dan pengetahuan yang dimaksud adalah tentang ketuhanan, perilaku, adab, kearifan  dan solidaritas pada penderitaan.

Bahagia pada keindahan sensual duniawi (hedonis matrialis ) tidak bisa mengalahkan keindahan alam, sebagaimana keindahan akliah (karya, seni/sastra) yang tidak bisa mengalahkan keindahan ruhani (akhlak, pengetahuan hakikat) hingga puncaknya  pada keindahan Ilahiah.

Dan semua itu ada reaksi kimia kebahagiaan yang terjadi pada tubuh manusia hingga ia tampak menangiskah? Tertawa, senyum  gemetaran? Atau diam berpaling demi bebas dari penilaian orang lain.

Sementara penilaian-penilaian menghasilkan apresiasi. Kebahagiaan yang bisa menghasilkan apresiasi terhadap apa yang bisa disaksikan, tidak hanya sikap dan ketrampilan serta pengetahuan umum semata yang kesemuanya itu bisa direkayasa.

 

Akal manusia terseok-seok menjawab tantangan. Perjalanan peradaban tak kunjung menemukan nilai-nilai ideal sebuah kebahagiaan, hingga wahyu hadir menjawabnya. Sikap ketundukan pada firman-Nya menghasilkan apresiasi yang abadi.

 

Bisa jadi kita terkagum-kagum pada sosok fenomenal yang diabadikan dalam bentuk material atas hasil akal, namun kehadiran wahyu yang menawarkan apresiasi keabadian juga tak lekang oleh waktu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun