Mohon tunggu...
Rahmat Sahid
Rahmat Sahid Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis

Wong Kebumen, ceker nang Jakarta, kandang nang Bekasi, Penulis Buku Sisi Lain pak Taufiq & Bu Mega, Penulis Buku Ensiklopedia Keislaman Bung Karno

Selanjutnya

Tutup

Politik

Esensi Sila Ketuhanan dan Akar Budaya Kita

15 Juni 2020   07:59 Diperbarui: 15 Juni 2020   08:01 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Peringatan Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni 2020, seharusnya sudah bisa menjadi cerita emas karena semakin dewasa sebagai ideologi di usia ke-75 sejak dipidatokan Soekarno pada 1 Juni 1945. Namun, kenyataan bahwa Pancasila belum sepenuhnya dijadikan "bintang penuntun" dalam berbangsa juga tak perlu apatis, apalagi apriori yang kemudian menimbulkan diskursus yang menggugat kerangka philosofische gronslag-Bahasa Belanda- (falsafah dasar) Indonesia sebagai Negara merdeka.

Dinamika kehidupan bernegara dan bermasyarakat sejak Indonesia merdeka juga tidak jarang terjadi gesekan ideologis, yang tidak hanya terjadi di era Presiden Soekarno, tetapi juga di pemerintahan berikutnya hingga saat ini dibawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo.

Namun atas berbagai gesekan ideologis dengan berbagai tensi dan tingkatannya itu, tidak sedikit juga yang 'pasang badan' dengan sebagai perisai dengan argumentasi rasional, sosiologis, dan historis bahwa hanya dengan karunia Tuhan berupa Pancasila yang digali Bung Karno dari akar budaya bangsa inilah, maka sebuah bangsa kesatuan bernama Indonesia hingga kini tetap kokoh berdiri. Yudi Latif, dalam bukunya Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila mengajak kita semua melihat Pancasila bukan sebagai sebuah "monumen mati" tetapi "leitstar yang dinamis" yang substansi sila-silanya selalu representative dalam mengurai berbagai persoalan bangsa meskipun zaman terus bertransformasi, bahkan di era Revolusi Indostri 4.0 saat ini.

Artinya, problem-problem Indonesia sebagai sebuah bangsa dan Negara sebenarnya akan selalu ada jawaban yang relevan ketika menjadikan Pancasila dengan esensi akar budaya di dalam sila-silanya benar-benar diterapkan bukan untuk melegitimasi kepentingan satu kelompok demi mendiskreditkan yang lainnya. Misalnya, sila pertama Pancasila yakni Ketuhanan, yang seharusnya bisa menjadi pemersatu karena ikatan masyarakat kita yang Berketuhanan acap dipahami secara sempit yang menimbulkan ke-ego-an yang merusak ke-bhineka-an.

Padahal, akar sila Ketuhanan sebagaimana digali Bung Karno dari budaya masyarakat nusantara yang turun temurun adalah Ketuhanan yang Berkebudayaan, sekaligus merujuk   ajaran Nabi Muhammad SAW dan Nabi Isa tentang toleransi. "..Ketuhanan yang berkebudayaan, ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain," demikian kutipan pidato Bung Karno tentang sila Ketuhanan, pada sidang Badan Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), 1 Juni 1945.

Jika saja akar itu tidak tercerabut dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, tentu problem-problem yang tersulut oleh pemahaman sempit soal ketuhanan dan keagamaan akan bisa diminimalisir kalau untuk bisa menghilangkan sama sekali masih dianggap sebatas ide dan harapan. Dan untuk bisa mengembalikan esensi sila Ketuhanan pada akar budaya kita, tiada lain dan tiada bukan, jawabannya adalah satunya tarikan nafas antara akar rumput dan akar kebijakan. Tidak bisa dipaksakan hanya berdasarkan kebijakan dari atas lalu mengharapkan ada perubahan paradigma dan pemahaman nilai ketuhanan yang berkebudayaan.

Pun tak bisa menjadi jawaban atas berbagai persoalan kebangsaan jika menyerahkan ke akar rumput dengan hanya bertumpu pada kearifak lokal dan keragaman penafsiran aturan. Singkatnya, kerja besar dan berat untuk membumikan Pancasila agar tidak jauhpanggang dari api haruslah dengan kembali pada akar budaya kita, karena bagaimanapun Pancasila jika diibaratkan sebagai pohon kebangsaan ia tak akan sanggub berdiri tanpa kokohnya akar yang menancap di bumi tempat kita semua berpijak. Akar budaya dalam konteks sila Ketuhanan bisa kita lihat bagaimana sikap Ki Bagus Hadikusumo dan Kiai Sanusi yang pada akhirnya tidak memaksakan usulan mendirikan Negara berasaskan ajaran Islam pada sidang lanjutan BPUPKI yang berlangsung pada tanggal 14 dan 15 Juli 1945.

Sikap itu adalah wujud dari kehendak untuk kembali pada akar budaya karena menyadari jika agama Islam dijadikan dasar Negara ada risiko terpecahnya Negara yang embrio kemerdekaannya sedang disiapkan. Bukankah sangat naf jika kemudian di era sekarang ini masih terjadi problem keagamaan dalam bernegara baik dalam bentuk tirani mayoritas maupun sebaliknya, seperti penutupan dan pelarangan beribadah, atau bahkan dalam bentuk diskriminasi kebijakan berbasis kepentingan kelompk suku, agama, ras dan antargolongan (SARA)? Padahal para pendiri bangsa dalam merumuskan dasaar Negara juga dilalui dengan kompromi agar tidak timbul risiko tercerabutnya akar budaya yang ada di masyarakat kita.

Hal penting dalam konteks dan upaya membumikan Pancasila agar sila-silanya dilaksanakan sesuai dengan akar budaya kita adalah memastikan instrument Negara dan berbagai proyek kebijakannya dijalankan untuk membangun kesadaran sebagaimana dipidatokan Bung Karno: Kita hendak mendirikan suatu negara "semua buat semua". Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, - tetapi "semua buat semua". Sila Ketuhanan sangat sentral dan esensial dalam upaya kita kembali pada akar budaya bangsa ini.

Selanjutnya, penerapan dan pelaksanaan serta upaya membumikan nilai-nilai pada sila lainnya akan mengalir dengan indahnya dibawah jembatan emas kemerdekaan. Dengan tiadanya tendensi negatif dan kecurigaan politik berbasis keyakinan agama, maka akan muncul rasa kemunisaan yang berkeadaban, rasa untuk saling menjaga persatuan dengan saling gotong royong, rasa saling memiliki sehingga selalu mengedepankan musyawarah untuk mufakat dalam berbagai persoalan dan pemecahan masalah, serta punya kesadaran semua warga Negara punya hak dan kewajiban sama di hadapan hukum dalam rangka mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan sejahtera. 

*Rahmat Sahid
Penulis Buku Ensiklopedia Keislaman Bung Karno, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam 45 (UNISMA) Bekasi, pernah 12 tahun menjadi wartawan dan kini menjadi penulis lepas.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun