Mohon tunggu...
Rahmat Hadi
Rahmat Hadi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

@rahmathadi

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Uniknya Dugem dan Cinta Satu Malam di Melaka, Malaysia

4 Desember 2015   11:17 Diperbarui: 4 April 2017   17:19 3454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dentuman house music menghentak seirama degup jantung serta lampu warna-warni terus berputar meski jam sudah menunjukkan hampir pukul 2 dinihari. Begitulah suasana malam akhir pekan di Kota Warisan Dunia atau The World Heritage City, Melaka. Ingin tahu seperti apa kehidupan malam yang membuatku ‘teler’ di sana ? Hayo, dugem kita…

Tak lengkap rasanya berkelana di sebuah kota jika tidak merasakan sensasi atmosfer dan geliat kehidupan malamnya. Hal itulah yang membuatku terus berjalan kaki menyusuri malam di beberapa sudut Kota Melaka akhir pekan lalu. Usai istirahat sejenak meluruskan otot-otot yang terasa kaku setelah siangnya mengeskplor keunikan kota nan sarat sejarah Malaysia ini, aku kembali bergegas meninggalkan Hotel Planet Traveler tempatku menginap. Kali ini tujuanku adalah menyusuri kota untuk melihat kehidupan malamnya.

Kepadatan pasar malam yang dipenuhi pedagang makanan, pakaian dan souvenir langsung menyambutku di depan hotel. Menurut petugas hotel tempatku menginap, pasar itu hanya ada di jumat dan sabtu malam. Suasananya mirip di Malioboro Jogja di malam hari. Pedagang menggelar dagangannya di pinggir toko yang sebagian besar tertutup seakan memberikan kesempatan kepada pedagang lain untuk mencari nafkah di akhir pekan. Aku mampir makan malam di sebuah warung makan dan mencoba menu andalan khas ranah jiran ini, nasi lemak. Rasanya yang mirip nasi uduk tentunya tak asing bagiku. Namun ada satu hal yang menarik saat pedagang nasi lemak itu agak bingung saat aku meminta es teh manis. Mereka saling memandang tanda tak paham. Akhirnya aku jelaskan aku minta teh manis yang diberi es. Akhirnya mereka berdua menyahut serempak, “ Ooooh, ti o ais (tea O ice)” Terserah kalianlah, yang penting buruan karena aku kepedesan.

Usai menikmati nasi lemak plus ‘ti o ais’ tadi, aku kembali menyusuri jalanan di sekitar Dataran Pahlawan dan Plaza Mahkota. Ratusan bahkan mungkin ribuan pengunjung tumpah ruah di tempat itu. Seperti orang Indonesia, warga Malaysia di Melaka pun sepertinya senang melewatkan malam minggunya dengan makan di luar dan berbelanja. Mereka bergabung dengan turis domestik dan mancanegara yang berburu barang-barang murah yang ditawarkan pasar kaget itu.

Aku menyeberang ke kawasan Taman Merdeka di samping Menara Taming Sari. Di sana juga berkumpul banyak orang melewatkan malam sambil bercengkerama di taman yang tertata rapih dan bersih. Sebuah replika pesawat dan kereta api tersimpan dengan rapi tanpa coretan di taman itu. Deretan bangunan tua berjejer melingkari taman. Mulai dari Museum UMNO (partai berkuasa di Malaysia), Museum Islam, kantor Museum dan juga kantor kepolisian. Semuanya menempati bangunan peninggalan masa lalu. Beberapa anak muda nampak asyik bercengkerama di beberapa sudut taman.

Aku kembali berjalan dan tak terasa aku kembali tiba di pinggir Sungai Melaka. Suasana di sana tak kalah ramainya. Ada yang terlihat bergembira di atas perahu sedang menyusuri sungai (River Cruise). Ada pula sekedar duduk bersantai di bangku-bangku yang tersedia di sepanjang pinggiran sungai. Satu hal perlu di catat, semua fasilitas umum itu gratis dan tak terlihat satupun coretan tangan jahil yang kerap menodai keindahan sebuah fasilitas umum. Seperti di Indonesia, beberapa pedagang kaki lima terlihat menggelar dagangannya namun tak terlalu banyak. Mereka hanya menggelar dagangannya di area pinggiran. Pantulan lampu dari Hotel Casa Del Rio semakin menambah gemerlapnya suasana malam di sungai yang bermuara di Selat Melaka itu.

Aku terus berjalan menyusuri sungai hingga tiba di jembatan menuju ke Jonker Street. Seperti yang aku ceritakan di tulisan sebelumnya bahwa Jonker Street adalah kawasan favorit masyarakat dan pengunjung khususnya di malam hari. Uniknya, menjelang malam Jonker Street di tutup total untuk seluruh kendaraan baik mobil maupun motor. Semacam Car Free Night-lah. Jalan yang paginya lengang dan sepi, siangnya cukup ramai, di malam harinya jalanan itu benar-benar penuh sesak. Para pedagang dengan menggunakan stand berupa gardu-gardu kecil menggelar dagangannya di jalan. Mereka di dominasi oleh pedagang makanan, souvenir dan pakaian. Selebihnya adalah pedagang pernak-pernik semisal aksesoris handphone, boneka dan barang pecah belah. Pedagangnya pun bercampur antara Orang Melayu (local), China dan India.  Beberapa becak dengan lampu warna-warni yang menyala terlihat stand by di sisi jembatan menunggu penumpang. Becak ini sepintas mirip becak-becak yang dipenuhi lampu warna-warni yang ada di alun-alun Keraton Jogjakarta. 

Usai berkeliling Jonker Street, aku kembali melintas di depan Hard Rock Café yang penuh sesak. Suara live band membawakan lagu-lagu top 40 terdengar hingga ke jalan raya. Aku tidak mampir karena banyak hal yang ingin aku eksplore di malam terakhirku di kota itu. Aku hanya mampir membeli segelas air kelapa di campur es cream di ujung jembatan. Aku lalu menuju ke area berbentuk pelataran di depan Gereja Melaka. Di sana juga cukup ramai pengunjung baik yang hanya sekedar duduk-duduk atau berseliweran sambil berfoto selfie. Aku mengambil tempat duduk di bawah pohon besar sambil memperhatikan seorang kakek berusia lanjut yang membawakan lagu-lagu oldest di tengah-tengah. Meski sudah berusia lanjut, kakek itu cukup piawai memainkan beberapa alat musik seorang diri. Mulai dari gitar, harmonica dan gendang. Sebuah toples terletak di depannya dan beberapa pengunjung yang melintas terlihat memasukkan lembaran ringgit ke dalam toples. Sesekali sang kakek berhenti bernyanyi dan mengucapkan terima kasih saat pengunjung mengisi toplesnya. Sungguh indah suasana malam di tempat itu. Tak ada suara klakson dari mobil yang berhenti karena mempersilahkan pejalan kaki melintas, tak ada suara raungan motor. Yang ada hanya suara sang kakek di timpa suara air mancur yang berada di sampingnya. Aku sungguh menikmati suasana malam yang sangat ‘rileks’ itu dengan menyeruput es kelapa yang terasa sejuk di tenggorokan (ya iyyalah ya, namanya juga es hehehe). Sesekali aku ikut bertepuk tangan saat lagu yang dilantunkan sang kakek usai berkumandang.Setelah puas menikmati suguhan lagu-lagu dari sang kakek, aku beranjak dan berjalan sambil memasukkan lembaran ringgit ke dalam toples. Sang kakek pun ‘break’ seraya mengucap “Thank you, Man” yang aku jawab dengan senyuman. Sang kakek gaul kan?

Aku kembali berjalan menuju kawasan Dataran Pahlawan yang tak jauh dari hotelku. Dari kejauhan telingaku menangkap suara music yang menghentak. Tentu saja aku penasaran ada apa gerangan? Aku mempercepat langkah. Setiba di sana, terlihat olehku puluhan becak yang sedang mengangkut penumpang membunyikan music dengan volume yang sangat keras. Musicnya pun bermacam-macam. Mulai dari lagu India, lagu barat hingga lagu cinta satu malam pun menggema bersahut-sahutan. Penumpang becak terlihat menikmati suguhan musik keras itu.  Kehadiran becak warna-warni bergambar kartun anak-anak berseliweran dengan music menghentak memberikan warna tersendiri di malam minggu di kota itu.

Masih ada satu lagi yang unik. Bukan hanya becak yang membunyikan music menghentak. Jejeran mobil-mobil dengan lampu warna-warni seperti tak mau kalah dengan becak-becak tadi. Pintu belakang atau bagasi mobil yang berisi sound system sengaja di buka. Speaker dengan sound system berkekuatan besar dengan lagu-lagu house music yang menghentak terdengar seirama degup jantung. Bisa dibayangkan, puluhan mobil berjejer berdampingan dengan sound system menggelegar memutar music yang berbeda. Ditambah lagi dengan suara music yang disetel kencang-kencang dari becak hias yang melintas. Beberapa pengunjung termasuk aku mendekati mobil-mobil yang dijejer ala film the Fast and the Furious sambil memperhatikan sound system dan lighting-nya. Situasi itu cukup memancing pengendara mobil yang sedang melintas. Beberapa mobil terlihat memperlambat lajunya di sekitar mobil-mobil ‘toko kaset’ jaman dulu itu (kalo toko kaset yang sekarang sih sudah pake headset dengerinnya).

Jam sudah menunjukkan pukul 1.30 pagi namun hentakan suara dari mobil-mobil house music dan becak-becak ‘cinta 1 malam’ itu terus saja menggelegar. Entah sampai jam berapa mereka akan terus ‘berteriak’ membahana di langit Kota Melaka yang bermandikan cahaya lampu malam itu. Cahaya dari lampu-lampu hias mobil dan becak. Karena masih kelelahan, aku memutuskan untuk menyudahi acara dunia gemerlap (dugem)-ku. Telingaku juga sudah terasa pekak oleh sound system berkekuatan dahsyat dari mobil-mobil anak gaul Kota Warisan Dunia itu.  Hayo kita pulang tidur, aku sudah ‘teler’ oleh lagu Cinta 1 Malam..hehehe

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun