Mohon tunggu...
Rahmat Hadi
Rahmat Hadi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

@rahmathadi

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Film Everest : Antara Obsesi, Ambisi, Nyawa dan Kekuatan Gunung

17 September 2015   11:44 Diperbarui: 29 September 2015   15:54 5755
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Film Everest yang diangkat dari kisah nyata tentang pendakian dan bencana di Puncak Everest tahun 1996 itu sudah mulai diputar di bioskop. Film bertema petualangan yang bisa dikatakan cukup jarang beredar tentunya menjadi sebuah tontonan menarik khususnya bagi pencinta petualangan. Apalagi film ini berkisah tentang petualangan dengan segala dinamika dan tantangannya menuju ke Puncak Gunung tertinggi di dunia atau lebih sering di sebut sebagai The Roof of the World, Everest.

Awalnya aku mengira film Everest ini adalah versi terbaru dari film Into Thin Air yang diangkat dari Buku karya Jon Krakauer dengan judul yang sama, Into Thin Air, a Personal Account of the Everest Disaster.  Namun ternyata dugaanku meleset. Meskipun terinspirasi kejadian dan pelaku yang sama, namun film Everest ini melihat bencana terhebat dalam sejarah Everest tahun 1996 itu dari sudut pandang berbeda.  

Film ini menceritakan tentang  orang-orang kaya dari berbagai belahan dunia yang memiliki obsesi untuk menjejakkan kaki di titik tertinggi di dunia itu. Mereka tak segan-segan merogoh kantong dan mengeluarkan uang sebesar USD 65,000 (setara dengan  Rp.910 Juta saat ini) demi memenuhi obsesi mereka. Beberapa diantara mereka telah beberapa kali mendaki Everest namun belum berhasil mencapai puncak. Sekedar tambahan bahwa meski seseorang yang telah membayar sejumlah uang dengan angka yang fantastis itu namun belum jaminan dia bisa menjejakkan kaki di puncak Everest.  Faktor Alam, fisik, skill dan tentunya keberuntungan turut berperan.

Pendaki-pendaki kaya yang ke Everest akhirnya menjadi sebuah fenomena dan peluang bisnis yang menggiurkan. Tak pelak, ratusan bahkan ribuan Travel Agent dan Climbing Provider baik di Nepal maupun di seluruh belahan dunia bermunculan.  Target mereka adalah orang-orang kaya yang memiliki obsesi menjelajahi tempat yang di klaim sebagai “The Most Dangerous Place in the World”. Sesuatu yang awalnya hanya menjadi obsesi bagi seseorang kemudian berubah menjadi sebuah ambisi, dalam hal ini ambisi bisnis yang tak luput dari persaingan dan tentunya kontroversi.

Hal itulah yang ingin diangkat ke permukaan sekaligus menjadi tujuan awal seorang Jon Krakauer, petualang yang lebih sering bepergian seorang diri sekaligus seorang freelance writer yang kerap menulis di majalah Outside Magazine. Buku Into Thin Air adalah buku yang dibuatnya setelah selamat dari bencana yang menimpa Everest dan menelan nyawa beberapa orang rekannya. Meskipun menjadi Best Seller, buku itu sempat menuai kontroversi khususnya dari  para korban selamat ataupun dari keluarga korban yang meninggal. Buku berbahasa Inggris setebal  292 halaman itu memang menceritakan segala sesuatunya dari sudut pandang Krakauer berdasarkan apa yang dia lihat dan rasakan.  Juga melalui hasil interview dengan rekan-rekannya selama proses pendakian termasuk para Sherpa.  Dengan judul yang sama, buku itu telah diangkat ke layar lebar namun entah apakah film itu pernah beredar di Indonesia atau tidak. Aku sempat membeli DVD-nya di Thamel Street di Kathmandu dan telah menontonnya sebanyak 4x!

Jika anda telah membaca buku dan atau menonton film Into Thin Air, mungkin akan bisa lebih banyak mengerti tentang hal yang diangkat dalam film Everest.  Ada perbedaan yang cukup mendasar dari kedua film tersebut, meskipun menceritakan 1 hal dan pelaku yang sama, bencana di Everest. Bedanya adalah, jika di buku dan film Into Thin Air lebih banyak mengangkat dan menyajikan hal yang terjadi mulai dari proses awal pendakian, saat terjadinya bencana badai di Puncak hingga selesainya pendakian. Tentunya disajikan dari sudut pandang sang penulis,  Jon Krakauer. Meski dia mengakui di halaman terakhir bukunya bahwa bisa saja dia ‘salah’ mengingat sesuatu khususnya kejadian yang terjadi selepas Camp 3 dimana dia sudah mulai ‘tidak sehat’.

Sementara Film Everest menyajikannya dari sudut pandang berbeda dengan menggunakan banyak nara sumber, tentunya salah satunya adalah Jon Krakauer dengan Into Thin Air-nya.  Film ini lebih mengedepankan unsur ‘human touch’-nya dalam hal ini keluarga. Tak heran jika porsi ‘drama’ antara Rob Hall, warga negara New Zealand yang menjadi Kepala Guide sekaligus pemilik Adventure Consultants Guided Expedition, dengan istrinya yang sedang menantikan kelahiran putri pertamanya digunakan untuk ‘mempermainkan’ emosi penonton.  Adegan saat Hall berbicara dengan istrinya lewat telepon di detik-detik terakhir sebelum meninggal menjadi klimaks Film Everest ini. Ditambahkan pula adegan saat Dr.Seaborn Beck Weathers berjuang untuk bangkit dari ‘kematian’ karena melihat anak dan istrinya memanggil ikut pula mendapatkan porsi ‘drama’ dalam film ini.  Dokter Pathology berkebangsaan Amerika yang dianggap mendapatkan keajaiban dan perlu di tangani khusus  langsung oleh Dubes AS di Kathmandu.  Ini pendapat pribadiku, adegan ini ingin menggambarkan betapa ‘pedulinya’ AS dalam menangani warganya. Meski antara buku Into Thin Air dan cerita dalam film Everest ini cukup berbeda. Di buku Into Thin Air dijelaskan (bahkan dengan foto) bahwa Beck diangkut  dengan helicopter dari Base Camp menuju Kathmandu setelah melalui proses evakuasi yang dramatis dari camp 4 hingga ke Base Camp  namun di film Everest digambarkan bahwa Beck di selamatkan dengan Helicopter dari Camp 4 langsung ke Kathmandu.  Sang Pilot helicopter berusaha mati-matian hingga mempertaruhkan nyawa terbang hingga ke ketinggian di atas 7000 mdpl meskipun sangat berat karena mendapat instruksi langsung dari Dubes AS.

Berbicara soal Amerika,  ini yang menarik mengingat film ini diproduksi oleh Universal Picture yang ‘Hollywood’.  Mohon maaf jika aku menggunakan buku Into Thin Air beserta filmnya sebagai referensi utama meskipun Krakauer menyebutkan bahwa dia bisa saja salah dalam mengingat suatu kejadian. Tapi kesalahan itu terjadinya setelah melewati Camp 3 menuju Camp 4 atau camp terakhir.  Hingga proses aklimatisasi di Camp 3, Krakauer selalu mencatat semua kejadian untuk bahan tulisannya.  Dalam buku Into Thin Air dan film berjudul sama berdurasi 89 menit itu, akan membuat penonton Film Everest yang diputar saat ini lebih mudah menelaah apa sebenarnya yang terjadi di tanggal 10 Mei 1996 di Puncak Everest. Aku jelaskan sedikit meskipun menggunakan sudut pandang Jon Krakauer sebagai referensi utama.

Film ini sebenarnya berkisah tentang sebuah persaingan usaha. Bukan hanya persaingan dalam merebut client yang notabene adalah orang ‘berduit’ namun juga persaingan dalam memperebutkan publikasi di media massa. Krakauer menceritakan bahwa awalnya dia sudah sepakat dengan Scott Fischer untuk menjelajahi Everest di tahun 1995. Scott dan Krakauer pernah beberapa kali bertemu di  Amerika. Rencana  awalnya Krakauer  tak akan sampai puncak namun hanya sampai di Everest Base Camp, seperti yang diminta oleh editor Outisde Magazine untuk meliput bagaimana bisnis guide di Everest yang melibatkan orang-orang kaya. Krakauer akan bergabung dengan team ekspedisi Scott dengan  iming-iming Mountain Madness Guided Expedition akan di ‘tampilkan’ di  halaman Outside magazine. Tentu saja Krakauer akan mendapatkan diskon dari USD 65,000 yang harus dibayar tiap orang. Namun beberapa bulan sebelum keberangkatan tiba-tiba Krakauer mendapat kabar dari Outside Magazine bahwa dia akan segera ke Everest namun tidak akan bergabung dengan team Scott Fischer tapi bergabung dengan Team  Adventure Consultant Guided Expedition milik Rob Hall. Kabarnya Rob akan membebaskan biaya expedisi dengan imbalan Rob akan tampil di halaman sampul. Sejak saat itulah Scott merasa bahwa ‘client’-nya di curi. Percakapan ini ada di dalam film Everest dalam adegan saat Scott menawarkan Hall untuk duduk dan minum kopi bareng sesaat setelah tiba di Everest Base Camp.

Scott tak mau kalah, entah bagaimana caranya dia bisa mendapatkan seorang pewarta warga negara Amerika asal Los Angeles, Sandy Hill Pittman, untuk bergabung dalam team ekspedisinya. Seorang sosialita glamour yang telah mendaki 6 dari 7 summit di dunia. Sandy sering di wawancarai oleh majalah dan stasiun radio dan TV terkenal semisal Vogue dan CNBC. Hal inilah yang dianggap Scott sebagai ‘ticket’ untuk mendapatkan klien dari kaum berduit Amerika dan dunia.  Dalam buku dan filmnya, Krakauer menggambarkan Sandy lebih sebagai ‘Social Climber’ dan bukan ‘Mountain Climber’. Saat melakukan proses aklimatisasi di EBC, Sandy membawa semua peralatannya, mulai dari laptop, satellite, hingga mesin pembuat cappuccino-nya. Bahkan beberapa peralatan seberat hampir 40 kg  itu diangkut oleh Sherpa hingga ke Camp 4 agar dia bisa memberikan live report kepada beberapa media.

Satu hal penting  sehubungan dengan Sandy yang sayang sekali tidak diangkat di Film Everest. Hal ini berhubungan dengan respect terhadap aturan lokal yang berlaku bukan hanya di Everest tapi di semua gunung dan tempat.  Saat melakukan aklimatisasi di Camp 1, Sandy sempat dikunjungi teman lelakinya dan mereka tidur bersama dalam 1 tenda. Informasi dari beberapa Sherpa bahwa mereka bahkan melakukan ‘Sauce Making’ sesuatu yang sangat terlarang dilakukan di Everest untuk pasangan yang bukan suami istri (sebenarnya bukan hanya di Everest sih aturan itu…). Hal itu dianggap tidak respect terhadap sang Chomolungma, Dewa yang ada di Everest dan bisa mengakibatkan sang Dewa marah dan bisa mendatangkan bencana. Setidaknya begitulah yang diyakini masyarakat Himalaya. Sherpa sudah berusaha berbicara dengan Scott selaku leader Sandy namun dia tak bisa berbuat apa-apa. Mengapa hal ini tidak dimasukkan dalam film Everest ini yak? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun