Mohon tunggu...
RAHMAT GUNAWIJAYA
RAHMAT GUNAWIJAYA Mohon Tunggu... Administrasi - PENULIS Sejarah

Penulis sejarah yang pernah kerja di perbankan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Debat Kusir di Zaman Digital

19 Desember 2018   01:51 Diperbarui: 19 Desember 2018   08:06 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: sapawarga.com

Di era demokrasi saat ini perdebatan antar manusia  karena berbeda pendapat  atau pandangan mengenai menyikapi suatu masalah dalam sebuah keluarga, satu kelompok atau komunitas adalah hal yang biasa dan bahkan sering terjadi apalagi di era kemerdekaan politik dan kebebasan mengakses informasi di media sosial sekarang ini.

Yang diperdebatkan pun kadang tidak semuanya hal besar, tetapi banyak hal kecil yang mungkin sebenarnya remeh temeh seperti misalnya pakaian yang pantas dipakai suami istri atau anak anak saat acara arisan keluarga, atau berapa sumbangan minimal yang harus dikeluarkan saat mendapat permohonan proposal  bantuan di lingkungan RT atau hal besar yang berkaitan dengan kenegaraan di bidang politik yang lagi trending di Indonesia seperti kenapa pemilihan umum harus serentak antara pemilihan legislatif dan pemilihan presiden sampai kotak suara yang kenapa menggunakan kardus dan jadi bahan habis pakai dan tidak menggunakan bahan dari alumunium seperti pemilu sebelumnya yang jadi belanja modal dan sudah dipakai bertahun-tahun.

Semua perdebatan ini itu dan kenapa menjadi marak di era teknologi informasi sekarang ini di media sosial seperti facebok, what sap dan twitter karena mengundang banyak orang untuk berkomentar dan terlibat dalam perdebatan yang tanpa ujung dan pangkal karena perbedaan pemahaman yang berbeda antara peserta debat yang ujung-ujungnya menjadi ajang debat kusir yang bias jadi lucu, buat sakit hati dan bahkan jadi inspirasi bagi yang lain untuk membuat debat tandingan.  

Debat kusir, biasanya diterjemahkan sebagai suatu perdebatan yang tak tentu ujung-pangkalnya. Semakin kesini semakin tak jelas mana yang benar dan mana yang salah karena semua pihak keukeuh mempertahankan pendiriannya, meski dengan argumen yang sering kali ngawur.

Apakah debat kusir itu layak,  karena setahu saya kusir adalah penarik kereta yang sama dengan supir, masinis dan pilot yang bertugas mengantarkan penumpang untuk sampai ke alamat tujuan yang disepakati, menjadi debat kusir apakah karena kusir itu biasanya berpendidikan lebih rendah daripada profesi pembawa kendaraan atau driver lainnya dan biasanya rakyat jelata yang harusnya pada posisi menerima perintah atau melaksanakan perintah bukan pada posisi mengomentari, mempertanyakan apalagi membantah perintah penumpang yang posisi level tingkat kehidupannya lebih tinggi atau lebih mapan ?

Apalagi pengguna Internet zaman sekarang, biasanya suka menghabiskan waktunya berdebat di media sosial. Sampai topik paling sepele sekali diributin juga. Biasanya malah ada kepuasan tersendiri kalau bisa membuat lawan bicaramu tidak berkutik (tak peduli mereka benar atau salah).

Menurut pendapat Elisabetta Matelli, Dosen ilmu retorika klasik di Catholic University, Milan, yang saya kutip dari www.vice.com  mengenai memahami alasan kenapa para pengguna media social  dunia maya bisa banget bikin jengkel orang lain. Dia juga berbagi tips untuk melawan ujaran kebencian, dan menutup perdebatan dengan orang yang superngotot di internet. Menurut Matelli mengenai perdebatan adalah sebagai berikut :

1.  Konsep slogan dan stock phrase sudah ada sejak zaman Yunani Kuno di Sisilia (Sicily). Waktu itu orang-orang menuntut digantinya sistem monarki        dan kediktatoran menjadi demokrasi. Bedanya, kalau sekarang slogan diciptakan untuk menyebarkan kebijaksanaan. Misalnya pepatah seperti     "know thyself" (kenali dirimu sendiri) atau "he who laughs last, laughs loudest" (siapa yang tertawa terakhir, dia yang tertawa paling puas). U

ungkapan seperti ini bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat memperkuat kesimpulan kita karena menyimpulkan hal-hal yang diperdebatkan. Peribahasa digunakan sebagai kiasan yang nilainya lebih tinggi daripada ungkapan biasa.

2.  Budaya kontemporer telah menurunkan kadar kebijaksanaan. Orang baru akan mengulang suatu perkataan apabila ada orang terkenal yang      mengeluarkan pernyataan catchy. Masalahnya, kita sekarang terlalu sembarangan menaruh kepercayaan atau wewenang kepada orang lain. Kita dulu bisa melihat mutu seseorang. 

Kita akan mengutip perkataan filsuf atau penyair hebat karena mereka tahu apa yang mereka ucap. Kalau sekarang, kita seringnya asal menerima suatu pernyataan tanpa memastikan kebenarannya. Pengakuan nilai sosial kita semakin bobrok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun