Pensiun adalah fase hidup yang tampaknya tenang, namun bagi sebagian orang justru menjadi masa paling menantang. Dari luar, tampak seperti akhir dari kerja keras yang panjang. Tapi di baliknya, banyak yang bergulat dengan kekosongan, kehilangan arah, bahkan krisis identitas. Inilah yang dikenal sebagai Postpower Syndrome.
Fenomena ini bukan hanya terjadi pada orang-orang biasa. Bahkan tokoh-tokoh besar, pejabat publik, hingga pemimpin negara kerap dikaitkan dengan sindrom ini.Â
Dalam bisik-bisik politik, ada anggapan bahwa beberapa mantan pejabat masih "turut campur" dalam urusan negara karena belum siap benar-benar melepas kuasa.Â
Apakah ini bentuk kecintaan pada negara? Atau justru gejala postpower syndrome yang belum ditangani?
Apa Itu Postpower Syndrome?
Postpower Syndrome adalah kondisi psikologis yang umum terjadi pada individu yang kehilangan jabatan, kekuasaan, atau peran penting dalam hidupnya. Biasanya menyerang saat seseorang memasuki masa pensiun atau mundur dari posisi strategis.
Gejala umum dari Postpower Syndrome meliputi perasaan tidak berguna atau kehilangan arah, munculnya depresi ringan hingga berat, mudah tersinggung, serta kecenderungan untuk membandingkan diri dengan generasi baru.Â
Tak jarang juga muncul keinginan untuk tetap berperan, meski tak lagi diminta atau relevan. Kondisi ini tidak bisa dianggap remeh. Di Indonesia, banyak pensiunan terutama dari kalangan militer, birokrasi, atau manajemen puncak yang akhirnya kesulitan beradaptasi karena kehilangan peran dominan yang sebelumnya mereka miliki.
Saya sendiri pernah merasakan versi kecil dari sindrom ini ketika masih menjadi mahasiswa dan aktif di organisasi kampus. Waktu itu, saya memegang posisi penting yang membuat saya merasa punya pengaruh dan peran besar dalam dinamika organisasi.Â
Namun setelah masa jabatan berakhir, muncul rasa canggung dan tak jarang saya merasa terdorong untuk ikut campur dalam kepengurusan adik tingkat.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!