Mohon tunggu...
Rahmad Alam
Rahmad Alam Mohon Tunggu... Mahasiswa psikologi UST, suka menulis dan rebahan.

Seorang mahasiswa fakultas psikologi universitas sarjanawiyata tamansiswa yogyakarta yang punya prinsip bahwa pemikiran harus disebarkan kepada orang lain dan tidak boleh disimpan sendiri walaupun pemikiran itu goblok dan naif sekalipun.

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Definisi Cinta Menurut "Standar Tiktok" dan Teori E. Fromm

19 Mei 2025   02:05 Diperbarui: 19 Mei 2025   02:05 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Sumber: diciptakan oleh AI dari Chatgpt.com/DALL-E

Pernahkah kamu merasa bingung: cinta itu sebenarnya yang kayak gimana, sih? Apakah cinta berarti harus pasanganmu tinggi, six pack, punya penghasilan dua digit, dan bisa kasih kado kejutan tiap bulan---seperti yang sering viral di FYP TikTok? Atau... cinta itu cukup ketika kamu dan dia bisa duduk bareng, ngobrol jujur tentang hidup sambil makan mie instan jam 2 pagi?

Di tengah hiruk-pikuk media sosial, terutama TikTok, muncul apa yang bisa kita sebut sebagai "Standar TikTok" standar visual, materi, dan romantisasi hubungan yang begitu mulus, terkonsep, bahkan kadang terlalu sempurna. Tapi pertanyaannya: benarkah itu cinta?

Cinta Bukan Filter

TikTok, seperti media sosial lain, memicu comparison trap. Kita membandingkan hubungan kita dengan pasangan lain yang tampil ideal di layar kecil. Terkadang, kita lupa bahwa yang kita lihat hanyalah highlight, bukan keseluruhan cerita. Di sinilah letak paradoksnya: kita ingin cinta yang nyata, tapi terjebak pada ilusi yang dibentuk oleh algoritma.

Erich Fromm, seorang filsuf dan psikoanalis, dalam bukunya The Art of Loving, justru mengatakan bahwa cinta bukanlah sesuatu yang kita "jatuh ke dalamnya" secara pasif, melainkan sesuatu yang harus kita pelajari dan usahakan secara sadar. Cinta, katanya, adalah seni. Dan seperti seni lainnya, ia membutuhkan pengetahuan, usaha, dan kematangan.

Antara Cinta dan Konsumsi

Dunia digital memperlakukan cinta layaknya produk: bisa dipilih, digeser, dibuang, atau dibeli. Kita mencari pasangan seperti mencari barang di marketplace, melihat "fitur", membandingkan harga, membaca review. 

Padahal, cinta sejati menurut Fromm adalah ekspresi aktif dari kepribadian yang matang, bukan sekadar respons atas daya tarik fisik atau status sosial.

Dalam Escape from Freedom, Fromm menyoroti bagaimana manusia modern takut akan kebebasan sejati. Kita sering lebih nyaman ikut standar luar (termasuk standar viral TikTok) daripada mendefinisikan cinta menurut pengalaman dan nilai-nilai personal kita. Kita menjadi "otomaton", hidup dengan skrip sosial, bukan hati.

Cinta yang Dewasa dan Otentik

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun