'Semua mudah jika berjamaah'.
Setidaknya itu adalah slogan yang mencerminkan keindahan dan kemudahan melakukan sesuatu hal berat, yang niscaya akan selesai lebih cepat dan ringan jika dilakukan bersama.Â
Dalam konteks positif seperti kerja bakti kampung, atau resik-resik masjid, slogan itu memang benar mencerminkan kebersamaan dan tolong-menolong dalam kebaikan.Â
Celakanya, manakala slogan itu demikian mendarah daging, sehingga untuk menikmati sebuah perbuatan yang dilarang pun, orang tidak malu lagi untuk mengajak serta orang lain.
Jika kita mengikuti beberapa kajian Islam yang banyak disampaikan para pendakwah baik offline maupun online, sejatinya kita sudah sampai di akhir zaman, di mana semua orang akan mendahulukan gundukan pundi duniawi daripada bekal ukhrawi.Â
Dalam hal ini saya setuju, bahwa tidak sedikit dari teman saya yang bekerja berangkat gelap pulang gelap, hanya untuk gaji bulanan yang diinvestasikan dalam lingkaran riba. Gaji dua digit, langsung dibagi-bagi untuk cicilan KPR, cicilan leasing mobil, asuransi jiwa, asuransi pendidikan anak-anak, investasi saham dan reksadana, beli emas cara praktis yang tidak harus dengan transaksi yadan bin yadin, masih ada sisa untuk minum kopi di gerai waralaba milik Amerika dan belanja bulanan yang bayarnya pakai kartu kredit juga.
Saya bukan ahli agama, mengingat pertobatan saya juga wallaahu a'lam sudah diterima atau belum. Tapi entah kenapa, almarhumah ibu saya pernah berpesan untuk ketiga anaknya begini, "Kuburmu nanti cuma dua meter. Jangankan rumah, bawa sepeda saja nggak muat."
Pesan itu demikian mendalam, walaupun baru akhir-akhir ini saja saya pahami, bahwasanya hakikat hidup ini bukan untuk benar-benar dinikmati kehidupannya, melainkan untuk dipersiapkan mati enaknya. Ini kalimat saya sekarang. Kalau dulu, saya sama saja seperti mereka yang kumpul-kumpul harta meskipun harus bergelimang riba.
Riba, bagi saya dulu, adalah bahasa agama. Bahasa akal manusianya adalah wealth management, yaitu tata kelola kebendaan atau kekayaan yang memiliki nilai ekonomi. Kata wealth, sebenarnya diartikan tidak hanya bersifat harta dalam konteks materi, tetapi juga yang sifatnya uncountable, seperti kesehatan, keilmuan, atau keahlian.
Saya kembali ke nasihat tentang kuburan yang sempit tadi, lalu untuk apa manusia diciptakan, dididik menjadi dewasa, disekolahkan menjadi pintar, dan dilatih beberapa keahlian melalui diklat supaya expert, jika tidak digunakan untuk membahagiakan dirinya sendiri dengan membeli semua yang diinginkan?