Mohon tunggu...
Rahma Roshadi
Rahma Roshadi Mohon Tunggu... Penulis - Freelancer Bahagia

Penikmat tulisan dan wangi buku

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Riba dan Urgensi Keyakinan

19 Maret 2019   07:27 Diperbarui: 19 Maret 2019   07:37 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pembicaraan tentang riba, yang merupakan sebuah tuntunan dalam kitab suci, terdengar demikian santer digaungkan oleh banyak komunitas pegiat dakwah anti riba di Indonesia. Sebut saja Xbank Indonesia, Komunitas Tanpa Riba, Riba Crisis Center, dan masih banyak lagi. Komunitas tersebut, bersama para pengikutnya, demikian lantang dalam menyerukan permasalahan sistem riba, lengkap dari sejarah kemunculannya, prakteknya di lembaga keuangan di Indonesia, sampai dengan dampak-dampak yang ditimbulkan, baik di dunia maupun azab akherat, yang semuanya tidak menampilkan satu dampak pun yang positif.

Kemunculan komunitas pegiat dakwah anti riba di atas, tentu saja, sejenak dianggap sebgai pengganggu masyarakat. Bagaimana tidak? Perekenomian kita sudah demikian nyaman dalam buaian riba. Sangat banyak orang yang memperlihatkan hidup dengan grafik naik, dengan cara riba, yaitu harta benda yang dibeli dengan cicilan ribawi. Demikian pula sebaliknya, seseorang memperbaiki diri dan keadaan usahanya, supaya bisa layak mendapatkan pinjaman ribawi. Dan Pada akhirnya, pendakwah anti riba yang mendapat getahnya dengan dijuluki sekumpulan orang yang tidak peka dengan peradaban.

Membicarakan riba tidak akan terlepas dari pembahasan sejarah di dalam kitab suci, yang tidak hanya terbatas pada Alquran saja, melainkan juga tercantum dalam pasal dan ayat di kitab suci selain Alquran. Adapun riba yang telah merajalela, adalah karena kaum yahudi, yang dalam sejarah terkenal bertingkah laku sebagai pembangkang ketetapan Tuhan.

Sejak dulu, yahudi selalu mendapat tempat dalam cerita sejarah sebagai pembunuh para nabi, penentang firman Tuhan, dan berusaha mengubah isi kitab-kitab Tuhan mulai dari taurat, injil, dan Alquran. Termasuk di dalamnya, ayat tentang larangan riba.

Keberanian mereka dalam melanggar ketentuan Tuhan tersebut, sebenarnya tidak pernah mereka lakukan pada bangsa / kaumnya sendiri. Dikutip dari penjelasan Buya Hamka, yahudi akan membolehkan mengambil bunga (riba) namun tidak dari saudaranya, melainkan dari bangsa lain supaya diberkahi Tuhan dan supaya tangan mereka mampu memegang negeri seperti yang mereka cita-citakan. Kutipan Buya tentang riba dan yahudi tersebut mengandung makna, bahwasanya sekalipun bangsa yahudi tidak duduk dalam pemerintahan suatu negeri, mereka tetap akan menguasai negeri tersebut melalui pola keuangan ribawi.

Pemahaman agama dan level keimanan manusia tidak akan pernah menyamai kestabilan keimanan malaikat yang tidak memiliki nafsu. Namun demikian, ketika seseorang mulai belajar tentang tuntunan agama, yang jelas dan tegas halal dan haramnya, saat itu juga mereka memiliki kewajiban untuk mengajak manusia lainnya dalam kebiakan.

Hal itu adalah esensi berkeyakinan. Karena, dengan memahami batas halal dan haram, kita akan memiliki pondasi kuat dan pagar yang kokoh supaya tidak terjerumus pada perbuatan yang dilaknat Tuhan. Lebih jauh lagi, kita akan menyelamatkan, tidak hanya diri sendiri, melainkan juga banyak orang dari azab Tuhan yang dijanjikan, dalam setiap kitab suci yang kita yakini kebenarannya.

Jika ada tanggapan bahwa mereka yang berdakwah juga masih berdosa sehingga belum pantas menyebar kebaikan, maka niscaya kebaikan itu sendiri tidak akan pernah muncul. Karena sejatinya, tidak ada makhluk yang sangat bersih (dari dosa). Yang ada hanyalah, mereka yang sadar dan mau bertobat kembali ke jalanNya.

Rendahnya pengetahuan masyarakat tentang riba, yang sebenarnya dapat dengan mudah mereka cari dalam kitab suci dan pedalamannya pada masing-masing agama, adalah sebuah pertanyaan besar tentang memeluk agama dan melaksanakan aturan agalam tersebut dengan sungguh-sungguh. Agama bukanlah sekedar pelengkap data kartu identitas, melainkan sebuah 'way of life' yang akan membawa kita pada ketenangan hati, secara pribadi dan menular pada lingkungan dan masyarakat sekitar.

Daripada kita memberikan justifikasi yang hanya sebatas prasangka kepada mereka yang 'tiba-tiba ustaz', akan lebih baik bagi kita untuk bertanya pada diri kita masing-masing, sejauh apa kita meyakini Tuhan yang kita sembah. Sedalam apa kita membaca kitab suciNya dan melaksanakan semua perintah dan mejauhi semua laranganNya, termasuk tentang riba dan azabNya yang sangat pedih, tanpa bernegosiasi dengan alasan moderenisasi dan peradaban.

Bukankan lazimnya ketika kita merasa ragu dan bertanya tentang sebuah perkara, kita akan mencari penjelasan yang detil dari sumber-sumber yang akurat. Mengapa perlakuan ini kita bedakan ketika bicara perkara riba? Jika mereka bicara tentang sebuah sumber yang dikutip dari Alquran, maka pernahkah kita juga sejenak meluangkan waktu untuk mencari ayat yang mereka bicarakan? Riba adalah perkara fikih muamalah, pernahkan juga kita mencari sumber data akurat tentang hal tersebut, misalnya kitab dan penjelasan ahli fikih?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun